Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Pemimpin Negara yang Telat Gaul

Pemimpin negara yang rakyatnya sering cetak "trending topic" (akhirnya) punya akun twitter. "Artis-artis twitter" Indonesia harus menepi dulu, Pak @SBYudhoyono mau lewat. (ilustrasi: merdeka.com)

"Shortcut" Pemenuhan Keinginan

Masih saja ada orang yang ingin penuhi hasrat keinginan duniawi melalui cara instan lewat praktik perdukunan berbalut guru spiritual di negeri yang gila hi-tech/gadget seperti ini. (foto: Shutterstock)

Perhatian di Tiap Malam Jelang Akhir Pekan

Telah menjadi pusat perhatian pemirsa di tiap Jumat malam. X Factor Indonesia mencetak ulang konstruksi idola melalui ajang yang katanya bukan hanya "singing competition". (foto: dusunblog.com)

Kenapa Perlu Giat 'Bikin' Film?

Janganlah dahulu menanyakan "Bagaimana", tanpa terjawab sebelumnya, "Mengapa" atau "Kenapa perlu/harus". Lalu "What for?" "Emang dengan banyak orang bikin film, so what?". (ilustrasi: net)

Cari yang Cocok, Jangan Cuma Cuco'

Tidak mutlak nyatanya jika pria itu menyukai wanita dengan tubuh yang aduhai dan wajah yang cantik jelita. Ada hal lain pada diri wanita yang membuat pria tertarik. (foto: Reuters)

Jumat, 17 Juli 2015

1 Syawal 1436 H, Saya Kembali

Bisa jadi biasa, bisa jadi luar biasa...
Takbir, tahlil saat 1 Syawal,
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar... Laailaaha ilallahuwallahu Akbar. Allahu Akbar walillahilham."

Bisa jadi biasa, karena setiap 1 Syawal memang selalu begitu.
Hanya memang terasa luar biasa, karena jika dikhayati, kapan kita menggelorakan takbir itu ke udara, berduyun-duyun bersama keluarga dan kerabat serta tetangga, memakai pakaian terbaik, bersimpung hingga memadati jalanan, dan bersujud sampai merasakan kerikil di dahi?

Hmmm...
Kamu bisa anggap itu biasa, tapi bisa juga jadi terasa luar biasa, salah satunya dengan menengadah kepala menghadap langit.
Begitu besarnya semesta, begitu kecilnya kita.
Sama seperti yang saya rasakan pagi tadi di pagi 1 Syawal yang getaran takbirnya sudah terasa sejak lihat tv melihat konferensi pers Menteri Agama.

Sampai kapan kita merasa besar, angkuh, atau sombong tatkala ada Yang Maha Besar, Allah Akbar.

KELUARGA

Keluarga sumber kebahagiaan sebagai karunia Yang Maha Rahman.

Melihat kebahagiaannya pun, hanya dengan melihat, sudah terasa bahagia.

Alhamdulillah di era etalase digital di mana setiap relung pribadi pun bisa tercurah, di Lebaran ini orang-orang berbagi foto keluarga dengan segala kebahagiaannya yang terlihat. Membawa bahagia.

Tak jadi bosan perjalanan dengan segala kemacetan menuju acara kumpul keluarga, pasalnya, saat melihat di media sosial yang biasanya hanya ada pemandangan wisata dan kuliner seringnya, saya bisa melihat kebahagiaan keluarga-keluarga teman saya. Alhamdulillah.
Tak sepenuhnya bisa saya rasakan secara utuh. Tak apalah.

Hanya ada haru, lemah, dan nelangsa jika melihat parsial, lingkup kecil, lingkaran kecil.
Bahagia masih ada keluarga besar dengan segala keceriaannya.
Ibu, Kakak, Keponakan, Sepupu, Paman, Bibi membawa kebahagiaan.
Bahagia (bisa merasakan sendiri) tak hanya-bisa melihat kebahagiaan keluarga teman di social media.
Alhamdulillah.

SEKOLAH

Uwa (atau paman, kakak dari ibu) mendirikan sekolah lalu pesantren beserta masjidnya di daerah tergolong pelosok. Masih belum paham.

Pembangunannya belum lebih dari 50% katanya. Saya lihat pun begitu.

Dia juga sedang mengembangkan peternakan kambing perah jenis peranakan etawa.
Susu kambing.
Belum pernah nyoba.

Sekian.
Saya tidak ingin hari ini hilang, sampai tak merasa hidup sebagai manusia sejarah.

Saat minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau kapanpun saya bisa tahu apa yang saya lakukan dan apa yang saya rasa hari ini di 1 Syawal 1436 H.

Minggu, 04 Januari 2015

Tak Ingin Kehilangan Jejak, dari Raport IQ sampai Nyaris Mati Suri

2 Januari 2015

Tepat hari Jumat, di antara 1 Januari dan 3 Januari. Nampak tidak ada yang aneh atau di luar kebiasaan. Berpikir demikian sampai akhirnya ada teman yang menginfokan bahwa 3 Januari yang merupakan hari Sabtu itu adalah tanggal merah. Bagi pekerja kantoran yang rutinitas kerjanya Senin-Jumat, mungkin tidak jadi "spesial", tapi bagi yang profesinya tetap perlu masuk hari Sabtu atau harus ada yang diselesaikan hari Sabtu, tentu adanya tanggal merah tersebut menjadi seolah kabar gembira untuk berleha-leha. Ya, leha-leha. Kita lanjut belakangan soal ini, di posting berikutnya karena tulisan bagian ini saja sudah akan panjang (ujian mental untuk lanjut baca serius atau cuma scroll down cepat. Terserah, saya tidak masalah, masalah ada di kamu yang mau baca hehehe).

Sebelum beranjak ke hari Sabtu, saya tuntaskan rekam jejak untuk Jumat (2/1). Semangat memasuki tahun yang baru memang diuji pada tanggal 2 Januari. Kadang belum apa-apa semangatnya sudah luntur H+1 dalam masa resolusi yang telah dirancang jelang awal tahun. Persis yang saya alami yang bertekad untuk konsisten menulis blog perhari sebagai catatan hikayat biar hidup tak hanya sebatas daya ingat, karena itulah merasa perlu dicatat.

Lanjut, hari itu saya kebagian piket untuk menjadi editor online di tempat saya bekerja. Bukan jadwal biasanya karena ada kawan yang mengambil cuti di awal tahun. Tak masalah. Tugas bagian pagi dilaksanakan walau sempat ketiduran di dua jam awal subuh setelah sempat posting beberapa berita. Tidak kejadian khusus dalam piket pagi itu, tidak seperti piket hari Minggu terakhir di akhir 2014 dimana terjadi peristiwa hilang kontak AirAsia QZ8501 (kodenya sampai hafal karena terus diulang di media massa), sehingga yang dilakukan saat piket kali itu hanyalah update berita dan edit serta publish berita-berita lainnya.

Hingga siang sekitar satu jam setengah sebelum waktu Jumatan, saya tiba di kantor melanjutkan pekerjaan. Seperti biasanya, kadang terjadi saut-sautan dengan volume cukup keras terjadi di ruang redaksi antara bagian redaksi dengan bagian TI atau tim artistik. Sepertinya suara saya terdengar oleh pimpinan di kantor yang berada satu lantai di bawah. Entah ada apa, nama saya dipanggil dengan panggilan tanpa menggunakan sambungan telepon yang menyambung secara loudspeker seperti biasanya.

Saya turuni tangga satu lantai ke bawah,  tak jauh melangkah, "bos" saya menyampaikan ingin mengobrol setelah jumatan dengan nada dan intonasi cukup serius. Saya dapat katakan ini sebagai teknik, apabila memang itu disengaja, yang "canggih" untuk memberikan terapi mental dengan memberi jeda waktu menunda pembicaraan serius dengan tanpa memberi tahu terlebih dahulu topik yang akan dibicarakan. "Apa saya ada salah?" "Kalau mau ajak bicaranya nanti, kenapa tidak nanti saja beri tahunya?" pikir saya dalam hati. 
(Hati memang bisa bicara, tapi tidak mungkin bisa diketahui penonton kalau tidak keluar dari mulut. Itu hanya ada di sinetron.)

Sedikit melega karena ternyata bisa ketemu dengan "bos" di masjid selepas Jumatan, dan rupanya yang akan dibahas adalah soal hasil psikotes yang hasilnya telah keluar. Singkat cerita, pembicaraan serius di ruangannya pun berlangsung dengan pembicaraan awal yaitu kekecewaannya soal hasil psikotes spesifiknya soal nilai IQ saya yang ada di bawah pegawai tetap lainnya di bagian Administrasi. Dia IQ-nya 115, sedangkan saya 109, di mana kisaran kedua nilai tersebut berada pada status average atau rata-rata alias not bad.

Masya Allah. Bingung harus bereaksi apa, hanya saja yang muncul dalam ekspresi saya (saya ingat betul) adalah hanya bisa memaksakan senyum dan tertawa tipis. Apa si "bos" mengira hasil IQ itu ibarat hasil pertandingan sepakbola dimana skor itu adalah sesuatu yang penting karena menunjukkan kemenangan? Apakah dia mengira hasil IQ itu ibarat hasil ulangan (istilah saya zaman sekolah dasar sampai menengah atas) atau hasil UAS dalam satu pelajaran sehingga besarnya skor menandakan seberapa banyak jawaban yang betul dan salah yang ujung-ujungnya menjadi suatu pemeringkatan, mana siswa yang belajar tekun mana yang malas atau akhirnya jadi satu stereotif mana siswa yang pintar mana siswa yang bodoh?

Dapat dianggap bahwa IQ itu memang sebagai penanda kecerdasan, Intelligence Quotient. Hanya apakah itu jadi sesuatu yang bisa diperingkatkan atau menjadi parameter kesuksesan seseorang. Saya kira hasil IQ itu hanya menjadi dasar atau modal kondisi kecakapan seseorang yang sudah barang tentu bukan menjadi satu-satunya acuan meraih kesuksesan, toh saya sedang bukan menjalani profesi sebagai ilmuwan atau penemu rumus matematika/fisika/kimia. Apakah kamu setuju soal ini?

Bukankan masih ada Emotional Quotient dan Spiritual Quotient (ESQ) jika meminjam teori yang dikembangkan Ary Ginanjar? Seberapa pengaruhnya IQ bagi kesuksesan seseorang dalam menjalani bidang profesinya sehingga seseorang yang berposisi sebagai pimpinan harus kecewa jika anak buahnya ternyata ber-IQ di bawah anak buahnya yang lain. Padahal, dengan lamanya bekerja di bawah pimpinannya, si pimpinan bersangkutan tentu bisa menilai sendiri bagaimana kinerja anak buahnya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi kekecewaaan tersendiri dari saya atas kecewanya pimpinan saya atas hasil IQ yang saya peroleh.

Mungkin bagi orang-orang yang mengutamakan IQ atau IQ adalah segalanya, ada satu kenyataan berlainan soal ini, di sini (silakan dibaca, soal perusahaan Google yang ternyata tidak menerima pegawai yang ber-IQ tinggi. Saya beri tahu biar tidak dianggap menjebak ke link aneh atau link penyebar virus hehehe... rileksasi meredakan tegang otot).

Hanya saja memang dari hasil psikotes itu, yang bukan hanya soal hasil IQ (dimana hasil IQ saya mengecewakan pimpinan), ada hal lain soal kepemimpinan, motivasi, inisiatif, kemampuan bersosialisasi, dan kepatuhan terhadap instruksi atasan. Sebagai informasi (sebagai pengingat saya juga), saya mengikuti psikotes sampai dua kali dalam kurun waktu tak kurang dari setahun, pertama saat tes sebelum pengangkatan karyawan tetap dan satu lagi yang terbaru dilaksanakan di kantor Bandung.

Hasilnya, ternyata seingat saya, beberapa bagian bertolak belakang. Hahaha... Di antaranya, di psikotes pertama saya dikatakan kurang memiliki daya kepemimpinan, padahal saya sudah bertahun-tahun aktif berorganisasi dan maaf harus saya sebutkan beberapa kali menjadi pimpinannya (itu juga yang saya pertanyaan dalam hati yang pastinya tidak akan diketahui penonton hehehe). 

Dan ternyata di psikotes saya, kepemimpinan saya "telah kembali", begitu pula daya bersosialisasi. Mudah bergaul dan supelnya saya "kembali" kepada diri saya di psikotes kedua (jujur saya ingin ketawa... izin ya.. HAHAHHA) yang saya akui itulah saya, yang justru tidak muncul dan ditandai/dinilai kurang di psikotes pertama. Apa saya berkepribadian ganda? Hehehe... Yang jelas, saat saya mengisi bagian yang harus memilih antara dua statement dan statement-nya kerap berulang itu, saya dengan "enaknya" saja saat itu ingin pilih yang mana. Nah, loh! :D

Walau begitu, saya pun mengambil pelajaran yang harus saya "perbaiki" dari hasil psikotes itu yang menyatakan saya kurang motivasi, keinginan berprestasinya kurang, tidak mengikuti instruksi pimpinan, dan inisiatifnya rendah (di kala pengerjaan psikotes itu). Mudah-mudahan nanti itu pun "kembali" ke diri saya. Namun untuk hasil IQ, nyatanya itu tidak ada perubahan, skornya seingat saya masih sama. Sorry Bos kalau saya rata-rata dan tidak seperti yang ada kira, yang mungkin Anda kira saya cerdas. Hehehe...
Da aku mah apa atuh kekekekek....

Maaf saya ralat soal leha-leha yang akan dibahas di-posting berikutnya, kagok sudah panjang ya.. jadi di sini saya lanjut.

3 Januari 2015


Nyaris sedikit orang yang tahu libur tanggal 3 Januari kemarin adalah adanya Maulid Nabi Muhammad Swt, beda kalau bicara Natal atau tahun baru, pasti banyak orang lebih sadar. Mungkin bisa dimaklum karena hitungan waktu Maulid Nabi menggunakan tahun Hijriah yang tak biasa digunakan orang muslim (belum jadi masyarakat muslim ya, catat) di Indonesia. Saya pun begitu. Baru tersadar saat teman di grup wartawan baru seperusahaan yang seangkatan bahas itu, dan ajaibnya yang menyadarkan kami di grup WA itu adalah seorang non-Islam.

Terlepas dari itu, baiklah berarti Jumat adalah "hari kejepit nasional" (harpitnas) yang seorang PNS pun harus masuk karena tiada penggunaan jatah cuti di awal tahun, yang mungkin sebagian besarnya telah digunakan di minggu sebelumnya saat liburan natal. Bagi awak media cetak, Sabtu adalah hari tidak naik cetak karena tanggalan yang dimerahkan oleh percetakannya, tanpa melalui proses pengamatan hilal atau perhitungan yang masing-masing menjadi metode organisasi NU dan Muhammadiyah.

Tibalah Sabtu, tanpa jadwal piket dan tanpa ada janji (seolah tiada janji, tiada komitmen), selepas Subuh, sarapan yang terpikirkan adalah bubur ayam.

Intermezzo, tidak selamanya yang komplet itu menjadi pilihan atau menjadi primadona, nyatanya bubur ayam yang tak kalah ramai di wilayah komplek Margahayu Raya adalah tukang bubur ayam (entah sudah naik haji atau belum) yang menyajikan buburnya dengan sederhana tanpa ada pilihan tambahan telur, ati ampela, semacam kuah kari, atau sebagainya. Pilihan yang ditawarkan hanya mau pakai kacang atau tidak, cuma itu. Urusan sambal, itu hak prerogatif pembeli karena menyiuknya sendiri.

Lanjut, setelah beli dan makan bubur, serta membelikan bubur untuk ibu yang sakit, saya tertidur (entah disengaja atau tidak, atau mungkin merasa tidak ada agenda lain jadi berleha-leha) cukup lama, melek sedikit, tidur lagi. Tv yang sedang menontoni saya, saya lihat sedikit-sedikit sedang menayangkan film semua umur khas masa liburan. Sampailah tiba waktu dzuhur, saya memaksakan bangun.

Sampai situ saja, saya sekarang berpikir kenapa bisa sering terjadi blank spot sehari dalam tujuh hari, serasa tugas manusia hanya berjalan Senin-Jumat. Lalu selepas itu kita jadi apa? Jika kita memandang kita sebagai makhluk pekerja Senin-Jumat, mungkin selepas waktu itu kita merasakan menjadi makhluk bebas, bebas dari tanggung jawab. Apakah iya kita itu makhluk pekerja Senin-Jumat? Apakah juga ada makhluk yang bebas? Makhluk yang bebas itu seperti apa kalau bukan seperti hewan yang hidup di hutan belantara atau terbang di angkasa (bukan di luar angkasa, karena tidak ada udara di sana)??

Makhluk bebas yang erat kaitannya dengan hewan tak pelak lagi kehidupannya hanya memikirkan bagaimana bertahan hidup, mencari makan, cari pasangan untuk "bikin" anak untuk melampiaskan nafsu? Apakah kita seperti itu? Mungkin kita seperti itu. Lalu pertanyaannya, apakah manusia semestinya seperti itu? Apakah kita seperti hewan yang MUNGKIN lebih canggih dari dari hewan biasa karena memiliki akal?

Jika dipikirkan, sebebas-bebasnya hewan atau binatang, itu tetaplah makhluk yang artinya diciptakan oleh khalik dengan ketentuan penciptaannya melakukan aktivitas yang seperti kita lihat tetapi dalam bahasanya (siapa yang mengerti bahasa hewan?) senantiasa bertasbih memuji Sang Penciptanya. Ini kata pencipta-Nya dalam kitab suci yang tidak dapat dipalsukan.

Lalu kita manusia, apakah ada ketentuan bagi kita, ataukah sama seperti hewan yang hanya cari makan, cari bini, bikin anak, cari tempat tinggal? Apakah kita juga turut memuji keagungan Ilahi Sang Pencipta Alam Semesta? Mungkin kita melakukan pengingkaran dan berleha-leha seolah hidup, mengoptimalkan akal, dan/atau berjuang hanya Senin-Jumat dan Sabtu-Minggu adalah hari pembalasan untuk berleha-leha hingga nyaris seperti mati suri. 

Sekedar mengingatkan, tempat istirahat kita adalah di dalam tanah, sama seperti korban AirAsia yang telah dikebumikan, dan hari pembalasan kita adalah akhirat, di mana surgalah kampung halaman kita sebelum Adam melakukan satu pelanggaran, sehingga kita yang terlahir hasil persenggamaan ayah-ibu kita bisa memantaskan diri di dunia ini untuk kembali ke kampung halaman.

Apakah IQ-mu cukup untuk menyadari ini? Apakah perlu psikotes dulu? Ha ha Haciw.

Kamis, 01 Januari 2015

Tahun Itu Melesat, Meletupkan Warna, Lalu Binasa

Alhamdulillah...
Kita awali dengan rasa syukur, kita masih melihat letupan-letupan kembang api itu, melihat kalender telah berganti, melihat status orang-orang di sosial medianya soal sambutan bagi tahun yang baru, melihat acara musik dan sajian spesial tahun baru di berbagai tenpat dan di layar kaca, melihat orang-orang berkumpul di rumah, melihat orang makan-makan di restoran atau kafe, melihat orang-orang menghabiskan malamnya yang memang tanpa melakukan apapun waktu niscaya akan habis.

Aku bosan melihat.

Langit kembali gelap, subuh kembali sunyi, selain adzan subuh dari mesjid terdekat, sepi seperti biasa. Selain kasur, bantal, guling, selimut, kursi sofa yang dijadikan tempat memejamkan mata, yang semuanya terasa lebih empuk dari biasanya karena tiada aktivitas pagi seperti biasanya dan baru saja merayakan apa yang namanya 'melihat', nyaris tak ada bedanya.

Tak ada lagi perayaan.

1 Januari 2015.

Dikurangi tahun kelahiran tambah usia jelang baligh, sekian kalilah 1 Januari itu dirayakan.

Akan ada resolusi katanya, tiap jelang pergantian tahun katanya.

Tapi diingat-ingat setidaknya pada setiap Desember jelang akhir tahun, resolusi itu nyaris lupa, diabaikan, atau ujung-ujungnya direncanakan lagi tahun depan, pikirnya.

Layaknya kembang api, melesat, membuncah mengesimakan orang, lalu hilang. Gelap lagi.

Tahun lalu yang kita isi dan kita lesatkan ke udara telah meledak pada momentum-momentum tertentu, bisa jadi berkali-kali, memberi warna yang mengesimakan kita. Lalu apa jadinya kemudian, hilang tanpa sisa.

Yang tersisa cuma bintang dan bulan, itupun kalau beruntung hari itu bukan musim hujan.

Tak hanya orang, bintang pun meledak menjadi jutaan bintang, meledak, lalu akhirnya pun akan lenyap.

Baiklah, saya mengaku saya yang memegang kembang api itu hingga meledak di langit,  mengesimakan mata, tapi kembang apiku tak kembali, berbeda dengan bintang yang diledakan-Nya.

Saya bintang, kamu bintang, kita bintang, semuanya bagian dari bintang yang diledakan-Nya bagai kembang api yang akan kembali menyusut melewati ledakan dan kembali lagi menjadi bintang sebelum meledak.

Kita pasti mati, yang bernyawa niscaya akan mati. Tapi itu kelihatannya.

Badan kita mungkin lenyap, hilang dalam gelap, tapi jiwa kita tidak.

Selamat melihat tanggalan baru dengan bilangan tahun yang baru yang mungkin saja setelah ada perayaan 'melihat' itu kita akan lupa, akan hilang.

Saya tidak ingin melupakan.

Selasa, 01 April 2014

Kipas Angin dan AC adalah Kebutuhan Sekunder di Jakarta (Hari 1)

INTRO: Jurnal harian atau sebut saja hikayat ini saya buat untuk menghargai apa yang terjadi dalam waktu agar tidak begitu saja hilang ditelan waktu, semisal lupa akan apa yang telah berlalu.

Baiklah, ini adalah hari pertama saya di Jakarta sebagai pendatang yang akan segera turut meramaikan hiruk pikuk ibukota. Lebih tepatnya sebenarnya adalah (kurang lebih) 24 jam pertama setelah kedatangan saya dari Bandung lalu tiba di kost-an.

Memang, perjalanan ke Jakarta bukanlah yang pertama. Sebagai pusat segala aktivitas ekonomi di negeri ini, tentu saya sudah beberapa kali singgah di kota ini. Tapi bedanya, kini tak menumpang di tempat/rumah teman ataupun tidak menginap di hotel (dibiayai dalam rangka tugas tertentu). Saya kini mengekost dan itu adalah pengalaman pertama bagi saya.

Pengalaman pertama untuk tidak tinggal di rumah, meskipun bukan pengalaman pertama jauh dari orang tua, karena saat masa SMA saya merasakan itu, orang tua di Sukabumi dan saya di Bandung untuk sekolah di SMAN 2 Bandung. Saat itu, saya tinggal di rumah di Bandung bersama kakak. Artinya masih tinggal bersama keluarga. Nah sekarang, pengalaman baru ini dirasakan.

Hari ini, hari pertama saya telah berstatus sebagai pendatang yang tinggal mengekost di Jakarta. Adanya pelatihan dari Bisnis Indonesia karena status saya meningkat dari kontributor menjadi reporter, mengharuskan saya untuk tinggal di Jakarta lebih dari sebulan. Ini jelas adalah suatu momen peningkatan dalam proses pendewasaan, menyambung hidup di bukan kota kelahiran.

Tidak ada sesuatu yang luar biasa bagi saya, selain memang ada impresi yang berbeda ketika harus pergi dari rumah membawa baju lebih banyak, dan tak kembali ke rumah (keluarga) untuk waktu yang cukup lama. Lebih-lebih, saya harus mengekost di ibukota. Pengalaman menginap di kostan teman menjadi semacam training, walaupun tidak disengajakan atau dipersiapkan untuk waktu sekarang. Menginap di kostan teman itu tentu saja bukan ujian sebenarnya. Mental langsung diterpa begitu diri sendiri secara nyata merasakan dan mengalaminya.

Ternyata begini toh jadi anak kost...
Memiliki teritorial pribadi meski sebatas seluas kamar dan itu sifatnya sewa.
Baiklah... Saya harus membuat nyaman tempat tinggal baru saya.

Dengan harga sewa Rp800.000 sebulan--sengaja saya sebut nominalnya agar bila kemudian hari tulisan ini dibaca dapat ketahuan berapa inflasinya ketika nanti  (sekarang di masa depan-pen)--saya hanya dapat satu kamar, satu kasur, satu bantal, dan satu lemari plastik, kamar mandi di luar. Hemmm... Jakarta panas dan gerah loh. Di kosan saya ini tidak ada kipas angin tak ada, AC apalagi. Alhasil, mandi keringat semalaman, begitu pula sekarang ketika saya mengetik tulisan ini.

Saya pernah ngerasain ikut menginap semalam di kosan Mojo (teman akrab dari Fikom yang bekerja di Kompas Gramedia bagian event) di daerah Kebun Jeruk, dan itu rasanya gerah banget, walaupun kosannya sudah dilengkapi kipas yang menempel dan mengatur sirkulasi ke luar dinding kamar. Kerasa, itu masih gerah.


Dari sini mendapati, di Jakarta:
Bila perut telah terisi, seraya badan telah berbalut pakaian dan tempat tinggal telah ditempati, kipas angin atau AC adalah barang yang perlu ada, tidak bisa tidak, terkecuali pilihannya adalah ber-"topless" ria di malam hari.

Pengalaman itu juga yang membuat saya memahami dan mensyukuri nikmatnya tinggal di Bandung. Kita perlu bersyukur Bandung dan juga sekitarnya memiliki AC alami yang dapat dirasakan dengan hanya membuka sedikit jendela kamar. Udaranya telah sejuk secara otomatis tanpa remote dan listrik.

Rasakan bagaimana sejuknya tempat kalian saat ini, oleh pendingin ruangan, AC, atau kipas angin, terlebih cuaca sejuk yang memang sudah dianugerahkan oleh Allah Swt Yang Maha Kuasa.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More