Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Senin, 13 Juni 2011

Sebuah Jalan untuk Mengenang: Satu dari Sedikit Film Tragis dari Amerika yang Menjaga Virginitas

"There's a song that's inside of my soul

It's the one that I've tried to write-over-and-over-again
I'm awake in the in-finite cold
But you sing to me over and over and over again

So I lay my head back down
And I lift my hands and pray, to be only yours-
I pray, to be only yours-
I know now, you're my-
Only hope
..."
Sejak masa teenlit, lagu yang merupakan soundtrack dari film A Walk To Remember ini sudah terngiang-ngiang, melekat dalam ingatan dan menyentuh perasaan. Mungkin hal itu karena ada kedekatan psikologis. Saya tidak akan curcol di sini. Jujur, filmnya sendiri -setelah cukup fenomenal sejak dirilis tahun 2002 dan sering menjadi perbincangan di antara teman-teman- baru saya tonton belum lama ini. Dan rasanya... Ouw!

Teman saya membahasakannya "kesemsem". Saya terdorong (lagi) menonton A Walk To Remember atas rekomendasi teman saya tersebut setelah dia saya tanya film romantis yang perlu saya tonton. Dulu banyak teman yang cerita soal pengalamannya menonton film ini tapi saat itu saya tidak tergoda. Hanya kali ini, karena ada motif mau membuat film soal cinta, saya pun meluangkan waktu melahap film yang dibintangi 'si manis' Mandy Moore dan Shane West beserta lagu-lagu manis yang mengiringinya. Akhirnya saya berhasil menyaksikannya hingga usai. Impresi yang tertinggal atas film dengan lagu-lagu "menyayat hati" ini mendorong saya untuk mengulasnya, padahal awalnya tidak ada ekspektasi berlebih untuk karya gambar bergerak ini.


Secara cerita, sedari awal sudah bersiap, film dengan mengangkat kisah cinta antara pria yang punya kehidupan liar dan  wanita tertutup yang akhirnya menunjukkan kecantikannya adalah sesuatu yang bisa dianggap biasa atau klise. Seperti kisah Betty La Vea, dimana si pria populer terpikat oleh wanita yang "sebenarnya" cantik. Namun ternyata, penuturan cerita dalam A Walk To Remember berbeda.

Tidak ada "embel-embel" sesuatu yang besar ataupun isu berat yang jadi artifisial dalam A Walk To Remember. Tidak seperti Titanic yang bersetting kapal pesiar terdahsyat di masanya, Romeo-Juliet yang merupakan karya sastra yang sudah melegenda dari William Shakespeare, atau seperti Head in The Clouds yang berlatar perang sebagaimana Cold Mountain dan Pearl Harbour yang ditunjang visual ciamik.

Film yang diangkat dari novel karya Nicholas Sparks benar-benar mengandalkan cerita dan terlebih lagunya. Tak aneh bila dalam kacamata kritikus, film ini sangat tidak luar biasa dan justru membosankan, tidak seperti The Notebook yang dianggap lebih berkualitas. Bahkan Peter Bradshaw dari Guardian (UK) (dikutip dari http://rottentomatoes.com/) menyebut, "This horrific teen romance-cum-weepie is best watched from between your fingers, or from under your seat, or perhaps standing outside the cinema looking in the opposite direction." Walaupun begitu, mungkin karena kesederhanaannya, banyak orang tetap tersentuh oleh A Walk To Remember. Inilah film yang ringan tapi menusuk.

Dalam A Walk To Remember, tak ada special affect, visual effect, dan tidak ada sex scene. Mungkin karena itu, anggapan film ini boring muncul. 'Tidak ada sex scene' bisa menjadi sesuatu yang perlu digarisbawahi. Seperti yang kita tahu, kecenderungan film drama-romantis dari Barat khususnya Amerika, bumbu sex dianggap sesuatu yang perlu ditambahkan. Kalaupun tidak ada adegan intimnya, diceritakan si tokoh adalah seseorang yang pernah punya kekasih dan sudah tidak virgin lagi. Di sana, virginitas bukan sesuatu yang perlu diperbincangkan lagi. Telah usai di balik dalih kebebasan. Melalui film, pasti pandangan tersebut disebarkan ke seantero dunia. Apabila Anda berpikiran serupa (tidak ada pentingnya menjaga virginitas sebelum pernikahan), mungkin Anda sudah termakan film-film yang secara tidak langsung menyuarakan hal itu.

Isu tersebut yang saya rasa tak hinggap dalam film arahan Adam Shankman ini. Subjektivitas itu yang membuat saya jadi lebih-dan-lebih-lagi menyukai A Walk To Remember, bahkan beberapa hari setelahnya masih tergila-gila dengan seluruh aspek di dalamnya (kepolosan ceritanya, tokohnya-khususnya kecantikan Jamie Sullivan-, dan soundtrack-nya). Film ini berhasil menyelinap masuk ke hati di tengah benteng pikiran yang penuh hal-hal yang bisa dianggap berat.

Sex scene tidak divisualkan dalam A Walk To Remember. Ya, walaupun adegan berciuman masih menghiasi film ini. Setidaknya film ini lebih mengarahkan bentuk cinta dan kasih sayang yang dalam, serta tak berpihak pada materialisme. Hal tersebut dibuktikan dengan tokoh Landon Carter yang tidak memerdulikan pandangan teman-teman sepermainannya dan tetap mengajak menikah Jamie Sullivan padahal ia tahu wanita yang dicintainya itu takkan lama bersamanya. Tipikal kisah romansa memang.

Selain itu, visualisasi tangis kesedihan dimunculkan secara proposional, di antaranya saat Jamie memberita tahu apa yang dideritanya pada Landon dan saat Landon berpelukan untuk berterima kasih kepada ayah yang selama ini tidak dipedulikannya. Malah, kepergian Jamie hanya disampaikan secara verbal (voice over Landon) dan tidak nampak tangis air mata di sana kecuali ekspresi rasa rindu Landon yang dimunculkan di akhir adegan. Semakin menyayatlah A Walk To Remember karena lagu-lagunya yang -beberapa di antaranya dinyanyikan Mandy Moore- begitu melankolis. Jadilah drama ini menjadi sebuah melodrama yang ringan tapi menyakitkan, tenang tapi menghanyutkan.
Di samping itu, perlu diakui A Walk To Remember tidak masuk kategori sempurna. Masih ada cela di beberapa hal dan bagian. Tentu di antaranya soal bagian cerita dan penyampaiannya. Terlebih, film ini seakan terjebak (entah dapat disebut seperti itu atau tidak) pada suatu kebakuan/kebiasaan/kecenderungan: Film romantis itu mengandung cerita tragis, lagu melankolis, dan akhir ceritanya optimistis. Apakah itu sudah merupakan form (kaidah)-nya atau hanya formula (gaya) semata dalam menghasilkan karya film. (Perbedaan keduanya akan diulas dalam post berikutnya tentang bincang singkat bersama Salman Aristo)

Kita bisa mengenang Ada Apa Dengan Cinta dimana di sana ketragisannya yaitu Cinta yang harus ditinggalkan Rangga, lagunya tidak diragukan lagi kemeloannya atas garapan Melly Goeslaw, dan akhir cerita menunjukkan optimisme Cinta untuk dapat bertemu kembali dengan Rangga. Atau contoh lainnya (yang secara tidak sadar pernah membuat mata meneteskan air) yaitu Alexandria. Tiga unsur tersebut melekat pula. Ada sisi tragis (pikawatireun, bahasa Sunda yang artinya menyedihkan dalam Bahasa Indonesia), lagunya melankolis banget (garapan Peterpan), dan tetap diakhiri sebuah optimisme. Sebelum itupun, kisah yang setipe dengannya (cinta segitiga) dalam Wicker Park, cukup membuat terenyuh. Dan mungkin masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya yang belum saya tonton.

Apabila memang itu sebuah kaidah dalam membuat sebuah drama-romantis, urusan saya untuk membuat film yang bergenre tersebut tidak akan menemukan tantangan yang terlalu besar. Tinggal garap cerita yang ada nilai ketragisan, cari musisi yang bisa bikin lagu melow, dan tak lupa akhir ceritanya tetap tampilkan optimisme. Jatuhnya bisa jadi klise.

Entahlah. Referensi saya dalam film drama-romantis masih cetek dan rata-rata ya begitu-begitu saja. Ada kekhawatiran bila itu semakin ditegaskan (dalam film), orang-orang yang menonton filmnya nanti -bila dalam romansa cintanya tidak ada sesuatu yang tragis, tidak ada lagu melankolis yang melekat,dan mungkin tidak muncul optimisme sama sekali- akan merasa kisah hidupnya tidak romantis. Ibarat terbentuk standar romantisme dalam cinta.

Kalau memang begitu, romansa cinta memang terkadang membuat perih, saat kita terhanyut.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More