Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Pemimpin Negara yang Telat Gaul

Pemimpin negara yang rakyatnya sering cetak "trending topic" (akhirnya) punya akun twitter. "Artis-artis twitter" Indonesia harus menepi dulu, Pak @SBYudhoyono mau lewat. (ilustrasi: merdeka.com)

"Shortcut" Pemenuhan Keinginan

Masih saja ada orang yang ingin penuhi hasrat keinginan duniawi melalui cara instan lewat praktik perdukunan berbalut guru spiritual di negeri yang gila hi-tech/gadget seperti ini. (foto: Shutterstock)

Perhatian di Tiap Malam Jelang Akhir Pekan

Telah menjadi pusat perhatian pemirsa di tiap Jumat malam. X Factor Indonesia mencetak ulang konstruksi idola melalui ajang yang katanya bukan hanya "singing competition". (foto: dusunblog.com)

Kenapa Perlu Giat 'Bikin' Film?

Janganlah dahulu menanyakan "Bagaimana", tanpa terjawab sebelumnya, "Mengapa" atau "Kenapa perlu/harus". Lalu "What for?" "Emang dengan banyak orang bikin film, so what?". (ilustrasi: net)

Cari yang Cocok, Jangan Cuma Cuco'

Tidak mutlak nyatanya jika pria itu menyukai wanita dengan tubuh yang aduhai dan wajah yang cantik jelita. Ada hal lain pada diri wanita yang membuat pria tertarik. (foto: Reuters)

Selasa, 07 Desember 2010

Sastra Bisa Menggugah, Menggugat, Mengubah Keadaan

Ketika menulis telah menjadi sebuah pilihan dengan segala resikonya. Kita harus setia kepadanya. Huruf-huruf yang terrangkai dan memiliki ruh jemari telah menjadi darah, dan kita yakin kita bisa hidup darinya. Sastra, menulis, identik dengan dunia sunyi, alam sepi. Namun kita begitu berterimakasih telah diberi sepi oleh Tuhan. Karena tanpa itu kita tak akan punya karya. Sastra dan seni juga identik dengan dunia gila. Kegilaan berkarya bisa mengubah keadaan, kita yakin itu. Selama kita memiliki komitmen dengan apa yang kita tulis. Bertanggung jawab atas huruf demi huruf serta tanda demi tanda baca yang tertera, maka kita yakin, semua tulisan kita berguna.

          Sastra, dunia yang asing dan termarjinalkan. Meski banyak melahirkan pemikiran, wacana, cara pandang dan sikap yang brilian, namun hingga detik ini bidang sastra masih terkucil. Padahal banyak tokoh-tokoh besar mengubah keadana Negara dengan sastra. Seorang Bung Karno, begitu cerdas menulis, berorasi, tentu bukan tanpa seni beliau berjuang memerdekakan negeri ini. Sejarah telah banyak mencatatnya, dan tak perlu dibahas di sini. Karena kita jelas sudah tahu JAS MERAH. Jangan Melupakan Sejarah. Nilai sastra, permainan kata manis yang sangat jenius! Begitu dalam memiliki makna.

          Sebagian besar orang tua tak menginginkan anaknya menjadi seorang penulis dan mendukung bergelut di dunia sastra. Penulis tak akan pernah punya masa depan, tidak menjanjikan apa-apa. Sebuah paradigma yang tentu saja sangat keliru. Dan saya pernah ada di dalam perkeliruan pemikiran itu.

          Besar di lingkungan konvensional dengan pemikiran ala Pegawai Negeri, membuat saya sempat terbelenggu menjadi seekor burung Nuri. Pada awalnya menurut kata orang tua, menjadi seorang Sarjana, Gelar Insinyur Perikanan kebanggan keluarga dengan predikat cumlaude. Namun ternyata hal ini tak bisa mengubah keadaan hidup saya yang sesungguhnya, yang ingin merasa berguna bagi diri sendiri dan bangsa ini. Begitu besar pengorbanan dan resiko yang saya ambil atas pilihan saya 8 tahun yang lalu, menjadi PENULIS!
Meninggalkan pekerjaan menjadi seorang pengajar di sebuah PTS di Surabaya, setelah sebelumnya dengan angkuhnya saya menolak tawaran menjadi pengajar di PTN tempat saya belajar. Pemikiran-pemikiran yang belum tertata dengan benar. Dan ketika badai besar melanda kehidupan keluarga dan perekonomiannya, saya langsung mengambil sikap hati saya yang sungguh, keluar dari sangkar besi, ingin terbang menjadi seekor Rajawali. Hati saya dikuatkan sajak si Burung Merak “Rajawali” sebuah sangkar besi tak akan bisa mengubah rajawali menjadi burung nuri.

           Dalam keadaan pailit hati, raga jiwa, saya menetapkan pilihan hati. Lari ke hal yang saya anggap paling benar hingga kini, mudah-mudahan sampai nanti. Menjadi penulis! Masih jauh pemikiran menjadi penyair atau sastrawati, mengingat itu bukan sebutan yang asal dan mudah meraihnya. Yang penting bisa menulis dengan hati dan menjadikannya obat sakit jiwa. Itu saja awalnya. Namun karena proses alam dan terus berusaha mengasah ruh jemari, ternyata tulisan-tulisan yang awalnya obat sakit jiwa itu menjadi berguna bagi orang lain. Bermula dari menulis curhat colongan atau roman-roman picisan yang begitu kosong makna, hingga beralih menulis drama kehidupan humanis social yang berasal dari sekolah di jalan. Angin dan debu sebagai guru. Berjalan, mendengar, melihat, dan merasa. Syair-syair anggur dan rembulan serta kalima-kalimat bersayap berlebih mulai saya buang. Karena saya begitu ingin karya saya berguna, dimengerti pembaca tanpa tersekat. Nyaring dari sisi bunyi! Menulis tinggi untuk bisa memberi dan membhumi.

           Seni adalah kebebasan yang bicara. Bicara menulis, bicara keberanian, sejauh mana tulisan kita berani dilihat, dibaca, didengar, dan dirasa hingga timbul pujian, hujatan atau cemoohan. Kemerdekaan berekspresi tanpa sekat ketakutan akan melahirkan karya-karya besar. Murni tanpa tendensi. Tulisan itu darah kita, karya itu nyawa kita.

            Saya begitu, sangat mencintai tanah air ini. semua yang saya tulis berasal dari bhumi pertiwi. Negeri ini sangat kaya warna, corak, ragam akan cerita, nama dan setting kearifan lokal. Kenapa kita mesti dengungkan negeri lain? Sudah saatnya karya-karya kita dengan setting Indonesia bisa berlaga ke dunia!
Banggalah jadi anak pertiwi. Menyuarakan Indonesia yang sebenarnya. Saya hanya menulis yang saya lihat, saya dengar, saya rasa. Negeri ini kaya cerita yang bisa ditulis untuk sebuah perubahan, pembaharuan! Kenapa banyak novel import yang begitu dikultuskan? JK Rowling dengan Harry Porter-nya, Stephenie Meyer dengan Tetralogi Twilight-nya. Karena kesalahan kita juga yang tak mau peduli menulis membhumi. Karena ini juga kesalahan kita yang tak pernah punya keyakinan bisa menulis kearifan lokal kita. Mencipta arus! Tanah air ini sangat kaya. Sudah masanya karya sastra kita dikenal dunia luar. Bukan kita yang terus menghamba kepada luar!

              Mengubah sesuatu keadaan memang tidak mudah. Semua harus diawali dari pembentukan pikiran dan bukti kongkrit apa yang bisa kita perbuat dari diri kita sendiri dulu. Karya seni sebuah bangsa mencerminkan bangsa itu sendiri. Bangsa ini makin lama makin tak terarah jelas tujuannya. Apa ini harus berarti karya seni kita tak jelas dan banyak yang membosankan, bermuatan isi itu-itu saja? Stuck? Bahkan cenderung mengalami kemunduran. Jelas kita sebagai seniman, penulis, tak mau dicap demikian. Mulailah membuat karya fenomental, beda!

              Dari pemikiran inilah, maka selama 3 tahun saya berproses melahirkan NOVEL ELANG (buku independent ke 4). Sebuah Novel kaya muatan kearifan local budaya negeri. Bicara Elang bicara Garuda! Novel yang bercerita tentang si kembar non identik (fraternal) yang begitu mencintai tanah air, Elang Timur, ilmuwan sejati dengan adik kembarnya, Elang Laut, penyair sejati.
Bicara Elang bicara keberanian. Bicara keberanian anak bangsa. Pantang mundur, setia kepada pilihan. Angin dan badai membuat terbangnya makin membumbung tinggi untuk kembali memberi dan membhumi bagi negeri. Tak mudah, namun kita harus mulai ini untuk bentuk sebuah protes akan keadaan bangsa yang makin menyebalkan ini. Negeri ini tak salah. Yang salah anak bangsanya, yang mengelolanya. Elang memiliki visi hidup, rela menderita untuk sebuah pembaharuan hidup 30 tahun ke depan. Ialah raja burung yang terpanjang usianya, tertinggi terbangnya. Belajarlah darinya. Derita adalah sebuah kekuatan, bukan kematian.

             Sudah pada masanya kita mencipta arus baru. Revolusi spiritual tanpa huru hara, tanpa darah. Semua buku saya terbit secara independent! Sesuka hati menulis, bebas terbang. Lewat sastra, lewat karya seni kita wujudkan sebuah pergerakan moral bangsa. Negeri ini milik anak-anak kita kelak. Dan kita orang tua dari mereka yang wajib menjaga, memberi karya terbaik buat kehidupan mereka. Karya Seni berperan untuk bangkitnya sebuah Negara. Lewat Sastra Membangun Negara!


Kirana Kejora
Penulis Independen

Kamis, 02 Desember 2010

Medali Emas di Olimpiade Sains Internasional dan Sistem Ranking di Dunia Pendidikan Kita


Assalaamu'alaikum, wr, wb.

Kita sering bangga mengetahui berita keberhasilan siswa Indonesia
mendapatkan medali di event olimpiade sains internasional. Kebanggaan itu
menjadi penyejuk dan pemberi asa akan masa depan bangsa kita, terutama di
tengah tengah berita berita buruk yang terjadi di masyarakat kita yang
kadang membuat kita seperti putus asa atas masa depan bangsa Indonesia.

Tetapi, tahukah anda bahwa sistem pemberian medali emas, perak dan perunggu di olimpiade sains tidak seperti di olimpiade olahraga yang biasa kita kita kenal ?



Berbeda dari olimpiade olahraga yang hanya memberikan satu emas, satu perak dan satu perunggu untuk setiap perlombaan, Olimpiade sains memberikan penghargaan medali emas, perak, dan perunggu kepada lebih dari tiga peserta. 10 % siswa dengan nilai tertinggi berhak mendapatkan medali emas. 20% siswa berikutnya mendapatkan medali perak, dan 30% berikutnya
mendapatkan medali perunggu. Dengan demikian, 60% peserta pasti akan
mendapatkan medali emas, perak atau perunggu. Di luar top 60% itu, ada para peserta yang akan mendapatkan sertifikat penghargaan semacam "juara
harapan"; dan sisanya akan mendapatkan piagam penghargaan sebagai "peserta".

http://en.wikipedia.org/wiki/International_Chemistry_Olympiad

So, what gitu loh ?! :)

Sebagian besar di antara kita tentu akan bergumam, "ooo, ternyata begitu,
tho." dan sejurus kemudian, sisi negatif thinking kita akan berkata, "wah,
ternyata tidak sulit untuk mendapatkan medali di olimpiade sains
internasional." Dan tiba tiba, kita tidak lagi bangga dengan medali medali
yang diraih anak anak kita di olimpiade sains internasional tsb.

Negatif thinking itu menurut saya adalah buah dari sistem ranking yang
diterapkan di sekolah sekolah di negeri kita. Sejak kecil, anak selalu
diranking terhadap anak yang lain. Perankingan itu selalu menghasilkan n
posisi juara nomor x, dimana x adalah bilangan bulat positif dan n adalah
jumlah siswa. Dengan demikian, hanya ada satu orang juara satu, satu orang
juara dua, dan seterusnya, hingga pasti ada satu orang juru kunci juara ke-n.

Dengan sistem seperti ini, maka hanya segelintir siswa saja yang mendapatkan apresiasi. Mayoritas siswa tidak mendapatkan apresiasi; tidak peduli betapapun keras usaha mereka, betapapun tinggi nilai mereka. Mereka tidak mendapatkan apresiasi dari guru, dan dari masyarakat atas apapun yang mereka capai, kecuali juara 1, 2 atau 3. Apresiasi menjadi barang langka bagi
siswa. Celakanya, orang tua pun juga memiliki pandangan yang sama. Mereka
ikut ikutan pelit memberikan apresiasi thd anak mereka karena anak mereka
"tidak mendapat ranking". Mayoritas anak Indonesia tumbuh dalam suasana
miskin apresiasi karena guru, orang tua, dan masyarakat sangat pelit dalam
memberikan apresiasi.

Kelak, ketika dewasa, anak anak itu juga akan pelit memberikan apresiasi.
Anak anak itu adalah kita kita sekarang ini. Kita yang tiba tiba turun -atau
bahkan hilang seketika- respek dan apresiasi kita untuk anak kita yang
berhasil meraih medali perunggu, perak, bahkan emas sekalipun di olimpiade
internasional; semata mata karena sekarang kita menjadi tahu bahwa bisa jadi anak peraih medali perunggu itu adalah ranking 60 dari 100 peserta, bisa
jadi peraih medali perak itu adalah ranking 30 dari 100 peserta, dan bisa
jadi peraih medali emas itu "hanya" ranking 10 dari 100 peserta. Sungguh
celakalah diri kita !

Hari ini, 4 anak saya mengenyam pendidikan sekolah dasar dan menengah di
Kanada. Negara yang masuk dalam kategori negara maju. Maukah saya
beritahukan kepada Anda rangking berapa anak saya di sekolah mereka? Tidak
ada satupun anak saya yang "mendapatkan ranking". Apakah saya kecewa dengan prestasi mereka? Tidak. Mengapa? Karena sistem pendidikan di Kanada sini tidak mengenal ranking. Tidak ada ujian kenaikan kelas. Tidak ada ujian akhir semacam EBTANAS atau UAN.

Semua siswa diapresisasi sesuai dengan attitude mereka, kemauan mereka untuk terus belajar, mencintai dan peduli kepada teman, guru, orang tua dan
lingkungan mereka. Kemampuan akademik siswa tidak diranking thd sesama
siswa, tetapi thd pencapaian standar kurikulum. Ketika semua siswa telah
mencapai standar kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan "alami"
individu siswa, maka semua siswa adalah sang juara.

Mereka menjadi juara bukan karena bisa mengalahkan teman mereka; karena
teman memang bukan untuk dikalahkan. Mereka menjadi juara karena mereka
mampu menyelesaikan tugas yang diberikan kepada mereka dengan baik dan
benar. Mereka menjadi juara karena mereka bisa mengalahkan unsur unsur
negatif dari diri mereka: kemalasan, selfishness, akhlak yang buruk, dan
lain lain. Mereka menjadi juara karena mereka mau belajar untuk menjadi
manusia yang baik.

Apakah hanya Kanada yang tidak menerapkan sistem ranking? Tidak. Konon
kebanyakan negara maju memang tidak meranking siswa thd siswa lainnya. Dan buktinya, olimpiade sains internasional memberikan penghargaan kepada semua peserta olimpiade. Bukan karena fakta bhw mereka adalah siswa terbaik dari negerinya masing masing, tetapi karena tujuan dari pendidikan dan acara olimpiade itu sendiri adalah mendorong kecintaan para siswa kepada sains. Bukan untuk saling mengalahkan, tetapi untuk bersama sama menjadi sang juara, yaitu mereka yang gemar berfikir, mau meninggalkan kemalasan dan mau bersilaturahmi dengan teman teman mereka dari seluruh penjuru dunia.

Mudah mudahan sistem ranking di sekolah sekolah di Indonesia segera lenyap.

Setujukah anda dengan do'a saya ini?

Wassalam,

Rois Fatoni
Dosen Teknik Kimia Universitas Muhammadiyah Surakarta

Senin, 29 November 2010

Saat "Orang" Diganti Kata

Tak ada Apa artinya 'AKU' selain sebuah egoisme

tetapi apa pantas bicara 'KITA' padahal

'KAMU' bisa dan patut mengatakan tidak sama dengan

'MEREKA'. 'KALIAN' coba pikirkan saja apa

yang 'DIA' katakan dan 'KALIAN' akan

tergiring digiring untuk bicara 'KAMI' karena bertentangan

dengan 'SAYA'.

Kamis, 18 November 2010

Membentangkan Benang Kusut

Hidup itu untuk mati.


Hidup------------->Mati

Ganjalan-ganjalan menghadang dan membelokkan pikiran kita seolah kita tidak akan mati,
tetapi
ganjalan-ganjalan yang membebani pikiran kitalah yang akan mematikan kita.

MATI DALAM KEADAAN GILA KARENA KESIBUKAN YANG MEMBEBANI PIKIRAN,
PADAHAL SECARA FISIK BELUM MATI.

Ganjalan-ganjalan yang mematikan pikiran kita dengan membuat pikiran kita tenggelam di dalamnya, adalah padangan-pandangan jarak dekat dan jangka pendek.
Memupus kesadaran kita akan sebuah persoalan besar yang perlu benar-benar dipikirkan dan layak dijadikan beban, yaitu : Kita akan mati. Yang setelah mati itulah persoalan-persoalan kehidupan jarak dekat dan jangka pendek akan hilang dan jadi tiada artinya.

Kenapa statement ini dibuat? Sebagaimana judul di atas, ada harapan benang kusut yang ada di kepala ini dapat diluruskan. Hal itu bukan sesuatu yang tidak mungkin.

Benarlah adanya, persoalan yang disebut di awal sebagai ganjalan, merupakan suatu terpaan yang pada akhirnya menguatkan atau mendewasakan. Namun yang sangat mungkin terjadi adalah penumpulan dan pemendekan daya jangkau pikiran kita,

Pikiran menentukan segalanya. Melalui pikiran, tubuh dapat kebal dari sayatan pisau, dan melalui pikiran pula orang bisa curhat atau bicara sejujur-jujurnya dalam kasus hipnosis.Bila pikiran sudah terganjal dan terbebani oleh sesuatu yang menyingkatkan hidup kita dengan persoalan jarak dekat dan jangka pendek, kita akan mati sebelum kita dinyatakan mati secara medis. Yang terjadi adalah sebuah kegilaan.

Persoalan atau masalah satu menumpuk dengan masalah lain. Masing-masing masalah atau persoalan menuntut agar dituntaskan segera. Mengapa harus disegerakan? Jawabannya adalah karena jika tidak segera, hal itu hanya akan menimbulkan masalah lain. Masalah demi masalah meliuk-liuk dan satu sama lain saling menindih, jadilah sebuah benang kusut yang jika terus ditarik, bila beruntung, putuslah benang tersebut.
Tetapi kenyataannya, semakin kusut suatu benang, jika terus ditarik, semakin kuat pula ikatan kekusutannya tersebut.

Yang mesti dilakukan adalah mencari benang utamanya agar kekusutan tersebut dapat diurai.

Kamis, 28 Oktober 2010

Jadilah Seperti Kopi

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api. Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata.

Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah. Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api. Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?”

“Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak. Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras. Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas.
Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?” Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi kesulitan yang sama, perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.
Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.

Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras.

Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.Semakin lama semakin harum tercium.

“Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?”

Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.

Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan menjadi keras dan kaku. Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?

Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat. Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.

oOo

Kehidupan sebenarnya sekolah kearifan.Persis dengan sekolah yang sebenarnya, ia juga menyimpan banyak PR (pekerjaan rumah). Setiap kali sebuah PR selesai pasti disusul dengan PR yang lain.

Ketika persoalan, tantangan atau godaan itu datang, itu berarti masa ulangan umum (ujian) menjelang kenaikan kelas atau kelulusan akan datang.

Betapa seringnya kita kehilangan kesempatan untuk naik kelas dalam kehidupan, dan betapa banyaknya PR yang kita tinggalkan.Karena kita tidak suka menghadapai masalah bahkan lari darinya

Yang terpenting sebenarnya bukan berapa banyak kita jatuh. Tapi seberapa banyak kita bangun. Karena keberhasilan ditentukan oleh seberapa banyak kita bangun, bukan seberapa banyak kita jatuh!

oOo

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun.” Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah: 155-157)

sumber:http://www.anakteladan.org/?p=60

Rabu, 13 Oktober 2010

Asal-usul Ensiklopedia

Kita kembali ke tahun 1746, Prancis. Para penyusun "Encyclopédie ",
terutama Diderot, adalah pembawa semangat ilmu dan rasionalitas -- yg
sering bertabrakan dgn Gereja. Nopember 1750, 8000 lembar prospektus
disebar utk cari dukungan buat proyek besar ini. Penulis prospektus:
Diderot. Kata "encyclopédie" secara harfiah berarti "pengajaran" yang
dihimpun dlm sebuah lingkaran. Khususnya, pengajaran ilmu-ilmu. Dlm
prospektus disebut oleh Diderot: "Kata ensiklopedia menandai saling
hubungan antara ilmu-ilmu". Ilmu2 telah berkembang hebat, kata Diderot;
kebutuhan utk menyebarkannya mendesak. Ilmu yg tak dibagikan tak akan
berguna.

Maka "Encyclopédie" akan menyusun ringkasan ilmu dlm 8 jilid. Proyek
akan selesai dalam 2 tahun. Diimbau agar orang berlengganan. Sambutan
ternyata ramai, terutama dari kelas menengah atas. Ini penting: dunia
ilmu dan sastra bisa mandiri dr kelas aristokrasi. Dulu, karya sastra
d.l.l. dibeayai para bangsawan dan dipersembahkan kpd mereka. Proyek
"Encyclopédie" tidak lagi. Tanda perubahan. "Encyclopédie" juga menandai
perubahan lain. Orang tak lagi tenang berbantalkan "agama + hukum", tapi
mulai memilih rasio.

Jilid pertama "Encyclopédie" terbit 28 Juni 1751. Bentuknya tak sama dgn ensiklopedia yg kita kenal sekarang. Di dlm jilid pertama itu, tak ada
biografi & sejarah. Malah agak mirip kamus: menjelaskan istilah, sinonim
dan tatabahasa. Dlm jilid pertama itu ada esei D'Alembert. Ia dipilih
krn ia ilmuwan utama dan penulis prosa yg ulung - seorang agnostik yg
hati2. Ia hrs hati2 karena takut sensor dari pemuka agama. Ia tak bisa
berterus terang. Ia malah tulis bhw agama mengajarkan banyak hal. Tapi
kpd Voltaire ia kemudian menulis: "Waktu akan mengajar orang utk
membedakan apa yg kita pikirkan dari apa yg kita utarakan". Itu sebabnya
jilid I "Encyclopédie" tak menyerang agama. Maka kalangan Jesuit
menyambutnya hangat. Tapi masih ada yg curiga.

Seorang mantan uskup melapor ke Raja, bhw para penulis "Encyclopédie"
telah menipu sensor kerajaan. Raja Louis pun mengirim jilid I itu ke
Malesherbes, juru sensor kerajaan yg pangkatnya disebut "directeur de la
librarie". Malesherbes sendiri juru sensor yg lunak. Ia bahkan pernah
menulis buku ttg kemerdekaan pers. Pendapatnya mengejutkan. "Seorang yg
hanya membaca buku2 yg..terbit dgn izin pemerintah", tulisnya, "akan
nyaris tertinggal seabad dari orang2 semasanya". Maka "Encyclopédie"
jilid I selamat. Tapi hidup tak mudah bagi jilid2 berikutnya.

Dimulai dgn Jilid II, Januari 1752. Dlm jilid ini ada tulisan Jean
Martin Prades. Ia seorang rohaniawan muda yg tahun sebelumnya
menghebohkan Universitas Sorbonne. Prades memajukan sebuah tesis yg
menunjukkan kacaunya kronologi Alkitab dan memperkenalkan satu theologi
liberal. Tesisnya diterima. Prades dpt gelar doktor. Tapi para agamawan
di Parlemen Paris marah. Gelar hrs dicabut. Prades hrs ditangkap.
Universitas Sorbonne tak berani melawan. Gelar doktor bagi Prades
dicabut. Orangnya melarikan diri ke Prusia. Di bawah kekuasaan tokoh2
agama, kemerdekaan akademi dan kebebasan berpikir dan mengutarakan
pikiran dianggap berbahaya.

Maka ketika di jilid II "Encyclopédie" ada esei Prades, para pembesar
Gereja pun mengamuk. Uskup Agung Paris melarangnya. Diderot sendirti tak
ditangkap. Tapi semua bahan utk penerbitan berikutnya disita negara.
Juru Sensor yg baik, Malesherbes tak berdaya. Tapi ia bersama orang2
lain minta agar proyek "Encyclopédie" diijinkan kembali. Ijin diberikan.
Tapi Jilid III s/d VI terbit dgn sensor ketat. Tapi bisakah rasa ingin
tahu manusia dicegah oleh para wakil Tuhan?

Meskipun dihambat oleh yg berkuasa, "Encyclopédie" memperoleh lebih
banyak pelanggan. Sampai di atas 4000 orang. Bahkan para penyumbang
makin banyak. Termasuk Voltaire. Diderot sendiri menulis satu esei
penting ttg ensiklopedia utk Jilid VI. Diceritakannya kembali
susah-payah melanjutkan proyek ini. Dana cepak, para penulis hrs kerja
sampai sakit.

Tapi Jilid VII malah dapat serangan paling dahsyat. Dlm jilid ini, ada
tulisan Louis de Jaucourt yg mengecam keadaan Prancis. Ia gambarkan
Prancis sbg negeri yg dirundung kemiskinan petani, dan ketimpangan
sosial yg ekstrim. Tapi yg paling menyengat adalah rtulisan D'Alembert
yg membandingkan Geraja Katolik dan Protstan ala Calvin di Jenewa.

Syahdan, 5 Januari 1757 ada usaha pembunuhan atas Raja. Penguasa pun
memberlakukan lagi aturan lama yg sangat represif. Dlm peraturan ini,
para penerbit, penulis, dan penjual buku2 yg menyerang agama dan
kerajaan akan dihukum mati. Beberapa penulis ditangkap. D'Ambert
ketakutan, tak mau ikut bikin "Encyclopédie" lagi. Voltaire usul agar
proyek ini dihentikan. Diderot belum mau menyerah.

Tapi 23 Januari 1759, wakil raja memberi tahu Parlemen ttg adanya
"proyek yg akan menghancurkan agama". Tgl 8 Maret 1759, "Encyclopédie"
secara resmi dilarang. Agama dan moral dianggap akan rusak berat oleh
proyek pencerahan itu. Tapi orang spt Diderot tak menyerah, meskipun
sedih. Ia menyiapkan 9 jilid tambahan "Encyclopédie", hingga akhirnya ia
kecapekan.

Bagaimanapun, jauh sebelum ada Kul-Twit, ia tahu perlunya manusia
berbagi ilmu pengetahuan dan kegiatan berpikir bagi peradaban. Ia juga
saksi zaman baru, ketika agama tak bisa hilang dari hidup manusia - tapi
tak bisa lagi jadi satu2-nya jawab ttg kebenaran. (?)


oleh Goenawan Moehamad

Senin, 20 September 2010

Democrazy is...I mean democracy is...

Demokrasi itu gak ada matinya, iya gitu?  Walaupun sekarang bukan masanya pemilu dan marema-nya tukang kaos dan umbul-umbul, ngomongin demokrasi bisa kapan saja. Toh, orang-orang (coba perhatikan di media massa) pada akhirnya senang membalikan segala hal pada kata itu demokrasi, seolah-olah "ia" yang paling benar dan yang tidak sesuai dengan "ajarannya" itu salah.

Emang demokrasi itu apa sih? Orang yang katanya pakar dan ahli pun banyak memberikan pengertian dan interpretasinya pun bisa beragam. Namun, siapapun akan mengakui bahwa konsepnya sangat "indah" dan "brilian". Apakah serupa dengan pengejawantahannya dan implementasinya?

Sulit. Bisa dibilang utopis. Yang terjadi pada hambanya demokrasi akan terus mengalami sebuah kebingungan, sebuah kebingungan lagi, sebuah lagi, kebingungan lagi, lagi, dan lagi.



Karena pada dasarnya demokrasi bertumpu pada kuantitas bukan kualitas.



Segala strategi dilakukan untuk menang, menggulingkan kekuasaan yang ada, dan tinggal bersiap saja digulingkan pada permainan yang sama.



Setelah menang yang terjadi malah pembagi-bagian kekuasaan bagi kalangan terbatas yang dinilai sebagai kawannya.



Apakah ini sebuah antipati? Sama sekali bukan. Bukan sama sekali. Ini hanyalah sebuah pendefinisian atau dengan kata lain, pembatasan. Agar jangan sampai "ia" menanggung sesuatu yang di luar kapasitasnya.

Apakah demokrasi takkan pernah mati? Jangankan mati, hidup pun tidak. Yang ada, manusialah yang menghidupinya (baca: menganggap seolah-olah hidup) dengan memberi jati diri alias makna kepadanya. Jadi tak perlulah kita mengagung-agungkannya, seolah "ia" bisa menghidupi kita (baca: ngasih makan, ngasih rezeki).

Demokrasi hanyalah cara atau jalan BUKAN akhir, penuntasan, atau tempat segalanya kembali.



Coba pikirkan saja, pada "apa/siapa" kita harus kembali?

Dua Jenis Manusia


Ada dua jenis manusia. Pertama, yang membuat kisah pribadinya, dan kedua, yang membuat sejarah.


Tujuan mereka yang membuat kisah pribadi adalah untuk kepuasan dirinya sendiri, sedangkan manusia yang membuat sejarah berusaha untuk melayani seluruh manusia. Perhatian seorang yang membuat kisah pribadi berputar pada dirinya sendiri. Dia melayang-layang di sekitar wilayah di mana kepentingan dirinya dapat tercukupi. Hatinya penuh dengan kebahagiaan jika dia berhasil meraih sesuatu bagi dirinya, tetapi bila tidak ada sesuatu yang dapat diraihnya, maka tidak ada kebahagiaan dalam dirinya.


Sedangkan orang yang membuat sejarah adalah sosok yang berbeda. Ia keluar dari kerangka dirinya. Hidup bukan untuk diri sendiri tapi untuk satu tujuan yang lebih tinggi. Yang menjadi perhatian adalah masalah prinsip, bukan keuntungan. Ia tidak peduli apakah dirinya akan meraih kemenangan atau menderita kerugian; yang lebih penting adalah idealismenya harus tersalurkan. Seolah-olah ia telah melepaskan diri dari pribadinya sendiri dan menancapkan benderanya pada berbagai kepentingan kemanusiaan.

Lalu bagaimana agar dapat menjadi orang yang membuat sejarah? Ada satu hal yang harus dilakukan. Yaitu, berhentilah menjadi orang yang membuat kisah pribadi. Begitu seorang menghapuskan kepentingan pribadinya, maka dia akan mampu membangun masa depan kemanusiaan. Sosok seperti ini meletakkan keluhan-keluhannya hanya ke satu sisi. Figur seperti ini yang akan diperhitungkan dalam sejarah manusia. Mereka adalah orang-orang yang atas keinginannya sendiri, konsen terhadap kepentingan kemanusiaan; mereka tidak mengambil hak untuk mendapatkan perlindungan; mereka hanya memiliki tanggung jawab, yang mereka lakukan dengan resiko apa pun bagi dirinya.


Now, which one are you going to be?

Minggu, 19 September 2010

10 Bidang Di Mana Orang Memiliki Perbedaan


1. Ekstrovert lawan Introvert: Yang ekstrovert senang kerumunan orang banyak sementara yang introvert lebih suka melewatkan waktunya sendirian atau dengan seorang teman dekat. Yang ekstrovert bersemangat karena adanya orang-orang sementara yang introvert bisa jadi terkuras enerjinya karena adanya orang-orang.

2. Pelaku atau Pengamat: Para pelaku berani mengambil risiko; kalau melihat peluang mereka ingin segera memanfaatkannya sebelum terlambat. Para pengamat lebih hati-hati. Mereka suka memeriksa segalanya terlebih dulu sebelum mengambil keputusan.

3. Yang memberikan garis besar atau Yang memberikan rincian: Yang memberikan garis besar memiliki fokus yang umum dan melihat gambaran besarnya. Mereka berpikir menurut arah serta keinginan menjadikan segalanya terlaksana. Yang memberikan rincian memperhatikan hal-hal yang sekecil-kecilnya. Keprihatinan mereka adalah bagaimana caranya menjadikan segalanya terlaksana.

4. Tukang belanja atau Penghemat : Kalau tukang belanja memiliki uang lebih, mereka ingin membelanjakannya - untuk diri sendiri, untuk orang lain, untuk maksud-maksud yang layak, untuk apapun. Kalau penghemat memiliki uang lebih, mereka ingin menabungnya untuk jaga-jaga. Mereka tidak suka membelanjakannya kecuali sangat penting.

5. Perencana atau yang fleksibel : Perencana suka struktur di mana segalanya terorganisasikan dan terkemas dengan rapih. Mereka suka jadwal dan batas waktu. Yang fleksibel menyesuaikan diri dengan jalannya kehidupan dan menangani segalanya seadanya. Mereka cenderung spontan dan santai. Ketidak-rapihan tidak mengganggu mereka karena mereka percaya segalanya akan beres.

6. Yang tergesa-gesa atau yang santai : Yang tergesa-gesa selalu sibuk. Kecepatan serta efisiensi adalah kata kunci mereka - selesaikanlah sebanyak mungkin secepat mungkin. Yang santai meluangkan waktunya dan menetapkan kecepatan kerjanya sendiri. Mungkin mereka tidak menyelesaikan cukup banyak, namun mereka menikmati apa yang mereka kerjakan.

7. Pemikir atau perasa : Pemikir memfokuskan pada fakta-fakta dan prinsip-prinsip. Mereka dasarkan keputusan-keputusan atas data yang objektif dan cenderung berorientasi pada tugas. Perasa memfokuskan pada orang serta perasaan. Mereka dasarkan keputusan pada data yang subjektif dan cenderung berorientasi pada hubungan.

8. Pemimpi atau Pekerja : Pemimpi adalah orang-orang kreatif yang suka banyak idenya. Mereka optimis dan berorientasi pada masa depan. Pekerja bersifat praktis. Mereka suka mengambil ide orang lain dan melaksanakannya. Mereka cenderung bersikap realistik dan memfokuskan pada yang sekarang.

9. Pengumpul atau Pembuang : Pengumpul suka mengumpulkan barang-barang. Mereka tidak suka membuang apapun karena mereka takut kalau-kalau membutuhkannya kapan-kapan. Pembuang suka membuang barang-barang. Mereka tidak suka berantakan dan mereka bersikeras bahwa kalau sudah lama sesuatu itu tidak digunakan, mungkin takkan pernah digunakan.

10. Tukang akrobat atau Pemain tunggal : Tukang akrobat bersifat multi saluran dan dapat menangani banyak hal sekaligus. Pemain tunggal bersifat saluran tunggal dan hanya bisa menangani satu atau dua hal sekaligus. Kalau mereka mencoba mengerjakan lebih banyak, mereka menjadi stress dan kewalahan.

Kita semua berbeda dan unik. Itu menciptakan keseimbangan, keragaman, serta tantangan dalam hubungan-hubungan. Syukurilah perbedaan-perbedaan Anda; bicarakanlah juga perbedaan-perbedaan Anda itu.

Sumber: http://katamutiara.info/tulisan.php?id=7003


Kamis, 16 September 2010

Esai, Seni Menantang Kebekuan

Esai. Berasal dari kosa kata Perancis, essayer, yang secara umum bermakna “mencoba” atau “menantang”. Esai adalah karya yang bersudut pandang personal subyektif si penulis, bukan paper ilmiah yang penuh dengan catatan kaki dan taburan kutipan teori. Esai berisi pemikiran yang dipadu dengan pengalaman, observasi lapangan, anekdot, dan pergulatan batin si penulis tentang subyek yang ditulisnya.

Adalah Michel de Montaigne (1533-1592), penulis Perancis, yang pertama menyebut karya tulisnya sebagai esai. Montaigne menjadi kiblat bagi para esais terkenal, bahkan sampai di zaman modern ini.
Pada abad 15, di tengah hegemoni gereja, Eropa dilanda kebekuan berpikir. Montaigne datang dengan tulisan-tulisan yang bernada skeptis. Dia mempertanyakan teori, konsep, juga kemapanan. Manusia, menurut Montaigne, tak akan bisa menyuguhkan kebenaran sejati. Karenanya, esai berfungsi menantang pemikiran, konsep, dan juga tatanan yang ada.

Esai terpanjang Montaigne, Apology for Raymond Sebond, mengandung selarik moto yang terkenal: “Que sais, je? What do I know?” Berbekal pertanyaan mendasar inilah, “apa yang saya tahu?”, Montaigne menulis dan menyajikan gagasannya.
Esai adalah tulisan yang membawa misi khusus si penulis. Dengan ramuan dan formula yang tepat, dia memiliki daya gebrak yang luar biasa. Tulisan Montaigne memberi kontribusi luar biasa bagi perkembangan pemikiran di Eropa pada masa renaisans. Serial Catatan Pinggir pun memiliki tempat tersendiri di hati penggemarnya. Sengkon dan Karta, misalnya, adalah esai Goenawan yang amat kuat menggambarkan tragedi peradilan sesat yang menimpa orang kecil.

Jangan lupa pula, di masa pergerakan kita juga memiliki sederet esai yang mengguncang sendi kolonialisme dan membakar semangat kebangsaan. Salah satu yang terkenal adalah R.M. Soewardi Soerjaningrat dengan esai berjudul Als ik eens Nederlander was… (Seandainya Saya Orang Belanda) yang ditulis pada 18 Juni 1913.

Oleh : Mardiyah Chamim, Tempo Institute

Sabtu, 04 September 2010

Seni Mengekspresikan Cinta

Ada banyak bentuk cinta yang tak tereksprsikan oleh indahnya kata
mewahnya hadiah, atau senyum yang merekah
Namun ia dapat dirasakan
Ya, seperti oksigen yang sering kita hirup,
tak terlihat namun manfaatnya dapat dirasakan

Begitulah juga kita dapati arti cinta seorang ibu pada anaknya
ketegasannya, kekhawatirannya, serta kemarahannya
semua adalah bentuk cinta yang tereksprsikan dalam wujud lainnya.

Atau juga cinta seorang suami pada istrinyayang mungkin tak terungkap oleh kata-kota gombal nan lebai
namun, ia mewujud kesetiaan, pengorbanan, dan tanggung jawab

Maka, jangan pernah tertipu
dengan manipulasi kata yang aduhai, kerlipan mata yang menawan
atau semua cara untuk menarik perhatian

Maka disini kita belajar
Jangan pernah salahkan mereka yang tak dapat mengekspresikan cinta dengan baik
boleh jadi, kesetiaan dan tanggung jawabnya lebih bernilai
dibandingkan mereka yang banyak mengumbar kata-katanya

Selamat mencintai dan mengekspresikan cinta
dalam naungan cintaNya

dari Setia Furqon Kholid

Jumat, 03 September 2010

Allah SWT Bukan Sutradara dan Dunia Ini pun Bukanlah Panggung Sandiwara

"God is Director," tulis slogan sebuah film karya para sineas muda dari Bandung. Sedari awal mengetahui slogan itu, nampak tak ada keanehan didalamnya. Terlebih, film itu memang mencoba memberi pandangan tentang Tuhan di mata sepasang sejoli beda agama yang terikat cinta. Slogan itu terasa pas-pas saja dengan cerita film tersebut.

Namun, tahukah kita tentang sutradara itu seperti apa, sehingga ada pengibaratan akan Sang Pencipta dengan sebuah profesi manusia, kita sebagai yang merasa ciptaan-Nya bisa bersikap biasa saja dan berpikir pas-pas saja?

Saya sendiri pernah menjalani apa yang disebut di atas. Bukan menjadi Tuhan pastinya, melainkan HANYA sebagai sutradara film. Orang kebanyakan mungkin sering mengibaratkan sutradara sebagai Tuhan di dalam film. Namun, tahukah kita bagaimana Tuhan melakukan perannya sebagai pengatur kehidupan sehingga kita bisa "mengerdilkan" peran-Nya sebagaimana peran seorang sutradara yang memang kerdil?

Sutradara memberi interpretasi akan sebuah cerita dan diwujudkan dalam bentuk visual sesuai kehendaknya. Segala hal (akting, artistik, pengkameraan, dramatisasi. dan sebagainya) harus mengikuti imajinasi dan kehendaknya. Bila tak waspada, dengan keleluasaan kehendak seperti itu saya bisa-bisa jumawa dan merasa diri ini Tuhan. Namun, tahukah kita bagaimana mekanisme kehidupan ini berjalan diatur oleh Sang Pengatur sehingga kita beraninya merasa keberadaan Tuhan bisa kita gantikan?
Yang saya tahu, sutradara itu memiliki kekuasaan penuh untuk mengendalikan apa yang terekam, terutama untuk film fiksi. Bagaimana tingkah si pemain, tutur kata, karakter, apa yang terjadi sebelum dan setelahnya, dan apapun yang akan terekam oleh kamera. Kesemuanya diharuskan tak melenceng dari apa yang dibayangkan seorang sutradara. Bila sudah melenceng, sutradara akan berteiak "Cut!" dan adegan pun diulang sampai sesuai yang diinginkan.

Lalu bagaimana dengan Allah SWT yang saya yakini sebagai Tuhan Semesta Alam? Apakah Dia seperti sutradara (sebuah fungsi yang diada-adakan manusia saat medium perekam gambar mulai dimanfaatkan untuk membuat suatu cerita rekaan)???

Bila kita menjawab "ya", berarti saat itu pula kita memposisikan diri kita sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, di titik terendah, serendah-rendahnya derajat. Bagaimana tidak. Kita mengibaratkan diri kita sendiri seperti lakon atau wayang yang jangankan punya akal atau sebatas nafsu (sebagaimana hewan), untuk gerak pun harus digerakkan oleh pihak lain atau mengikuti kehendak pihak lain. Hanya diam. Kalaupun bergerak, hanya berlaku "bo'ong-bo'ongan" (baca: akting) sesuai yang diharapkan si pengatur. Bila keliru atau tak sesuai maka harus mengulang.

"Lho bukannya kita ini memang hanya mengikuti kehendak Allah SWT?" sahut seseorang.

Anda bersepakat dengan sahutan itu?

Bila diteruskan mengikuti pemikiran tersebut, bisa-bisa kita berpikir bahwa kita masuk neraka (naudzubillahimindalik) pun adalah kehendak Allah SWT. Kita diciptakan hanya untuk dimasukkan ke dalam neraka. Betapa kejamnya Allah bila pemikiran seperti itu diamini. Dan betapa bodohnya kita bila tetap melanggengkan pengibaratan di atas yang melecehkan kehadirat Allah SWT dan kita sendiri sebagai ciptaannya.

Yang harus kita yakini, Allah hanya menetapkan tiga hal untuk manusia, dan sisanya dikembalikan kepada pilihan manusia dengan bermodalkan akal yang diberikan-Nya. Tiga hal tersebut adalah perihal kelahiran, jodoh, dan umur.

(Masih akan terus berlanjut)

Jumat, 27 Agustus 2010

Pendidikan Kita

Lima belas tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada guru sebuah sekolah
tempat anak saya belajar di Amerika Serikat.

Masalahnya, karangan berbahasa Inggris yang ditulis anak saya seadanya
itu telah diberi nilai E (excellence) yang artinya sempurna, hebat,
bagus sekali. Padahal dia baru saja tiba di Amerika dan baru mulai
belajar bahasa. Karangan yang dia tulis sehari sebelumnya itu pernah
ditunjukkan kepada saya dan saya mencemaskan kemampuan verbalnya yang
terbatas. Menurut saya tulisan itu buruk, logikanya sangat sederhana.

Saya memintanya memperbaiki kembali, sampai dia menyerah. Rupanyakarangan itulah yang diserahkan anak saya kepada gurunya dan bukan
diberi nilai buruk, malah dipuji. Ada apa? Apa tidak salah memberi
nilai? Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja
sudah diberi nilai tinggi, saya khawatir anak saya cepat puas diri.
Sewaktu saya protes, ibu guru yang menerima saya hanya bertanya
singkat. "Maaf Bapak dari mana?" "Dari Indonesia," jawab saya. Dia pun
tersenyum.

Budaya Menghukum

Pertemuan itu merupakan sebuah titik balik yang penting bagi hidup
saya. Itulah saat yang mengubah cara saya dalam mendidik dan membangun
masyarakat.

"Saya mengerti," jawab ibu guru yang wajahnya mulai berkerut, namun
tetap simpatik itu. "Beberapa kali saya bertemu ayah-ibu dari Indonesia
yang anak-anaknya dididik di sini,"lanjutnya. "Di negeri Anda, guru
sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk
menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement!" Dia
pun melanjutkan argumentasinya.

"Saya sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda-beda. Namun untuk
anak sebesar itu, baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa
Inggris, saya dapat menjamin, ini adalah karya yang hebat," ujarnya
menunjuk karangan berbahasa Inggris yang dibuat anak saya. Dari diskusi
itu saya mendapat pelajaran berharga. Kita tidak dapat mengukur
prestasi orang lain menurut ukuran kita.

Saya teringat betapa mudahnya saya menyelesaikan study saya yang
bergelimang nilai "A", dari program master hingga doktor. Sementara di
Indonesia, saya harus menyelesaikan studi jungkir balik ditengarai
ancaman drop out dan para penguji yang siap menerkam. Saat ujian
program doktor saya pun dapat melewatinya dengan mudah.

Pertanyaan mereka memang sangat serius dan membuat saya harus benar-
benar siap. Namun suasana ujian dibuat sangat bersahabat. Seorang
penguji bertanya dan penguji yang lain tidak ikut menekan, melainkan
ikut membantu memberikan jalan begitu mereka tahu jawabannya. Mereka
menunjukkan grafik-grafik yang saya buat dan menerangkan
seterang-terangnya sehingga kami makin mengerti. Ujian penuh puja-puji,
menanyakan ihwal masa depan dan mendiskusikan kekurangan penuh
keterbukaan. Pada saat kembali ke Tanah Air, banyak hal sebaliknya
sering saya saksikan. Para pengajar bukan saling menolong, malah ikut
"menelan" mahasiswanya yang duduk di bangku ujian.

Ketika seseorang penguji atau promotor membela atau meluruskan
pertanyaan, penguji marah-marah, tersinggung, dan menyebarkan berita
tidak sedap seakan-akan kebaikan itu ada udang di balik batunya. Saya
sempat mengalami frustrasi yang luar biasa menyaksikan bagaimana para
dosen menguji, yang maaf, menurut hemat saya sangat tidak manusiawi. Mereka
bukan melakukan encouragement, melainkan discouragement.
Hasilnya pun bisa diduga, kelulusan rendah dan yang diluluskan pun
kualitasnya tidak hebat-hebat betul. Orang yang tertekan ternyata
belakangan saya temukan juga menguji dengan cara menekan.

Ada semacam balas dendam dan kecurigaan. Saya ingat betul bagaimana
guru-guru di Amerika memajukan anak didiknya. Saya berpikir pantaslah
anak-anak di sana mampu menjadi penulis karya-karya ilmiah yang hebat,
bahkan penerima Hadiah Nobel.

Bukan karena mereka punya guru yang pintar secara akademis, melainkan
karakternya sangat kuat: karakter yang membangun, bukan merusak.

Kembali ke pengalaman anak saya di atas, ibu guru mengingatkan saya.
"Janganlah kita mengukur kualitas anak-anak kita dengan kemampuan kita
yang sudah jauh di depan," ujarnya dengan penuh kesungguhan. Saya juga
teringat dengan rapor anak-anak di Amerika yang ditulis dalam bentuk
verbal.

Anak-anak Indonesia yang baru tiba umumnya mengalami kesulitan, namun
rapornya tidak diberi nilai merah, melainkan diberi kalimat yang
mendorongnya untuk bekerja lebih keras, seperti berikut. "Sarah telah
memulainya dengan berat, dia mencobanya dengan sungguh-sungguh. Namun
Sarah telah menunjukkan kemajuan yang berarti." Malam itu saya
mendatangi anak saya yang tengah tertidur dan mengecup keningnya. Saya
ingin memeluknya di tengah-tengah rasa salah telah memberi

penilaian yang tidak objektif.

Dia pernah protes saat menerima nilai E yang berarti excellent
(sempurna), tetapi saya mengatakan "gurunya salah". Kini saya
melihatnya dengan kacamata yang berbeda.

Melahirkan Kehebatan

Bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara menciptakan
hambatan dan rasa takut? Bukan tidak mustahil kita adalah generasi yang
dibentuk oleh sejuta ancaman: gesper, rotan pemukul, tangan bercincin
batu akik, kapur, dan penghapus yang dilontarkan dengan keras oleh
guru, sundutan rokok, dan seterusnya. Kita dibesarkan dengan seribu
satu kata-kata ancaman: Awas...; Kalau,...; Nanti,...; dan tentu saja
tulisan berwarna merah menyala di atas kertas ujian dan rapor di
sekolah.

Sekolah yang membuat kita tidak nyaman mungkin telah membuat kita
menjadi lebih disiplin. Namun di lain pihak dia juga bisa mematikan
inisiatif dan mengendurkan semangat. Temuan-temuan baru dalam ilmu otak
ternyata menunjukkan otak manusia tidak statis, melainkan dapat
mengerucut (mengecil) atau sebaliknya, dapat tumbuh. Semua itu sangat
tergantung dari ancaman atau dukungan (dorongan) yang didapat dari
orang-orang di sekitarnya. Dengan demikian kecerdasan manusia dapat
tumbuh, sebaliknya dapat menurun. Seperti yang sering saya katakan, ada
orang pintar dan ada orang yang kurang pintar atau bodoh.

Tetapi juga ada orang yang tambah pintar dan ada orang yang tambah bodoh.

Mari kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan
ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan
menghina atau memberi ancaman yang menakut-nakuti.

Oleh DR. Rhenald Kasali (*)

Senin, 16 Agustus 2010

Jangan Berbuka Puasa Dengan Yang Manis

************ ********* ********* ********* *********

Di bulan puasa ini, sering kita
dengar kalimat 'Berbuka puasalah dengan makanan atau
minuman yang manis,' katanya. Konon, itu dicontohkan
Rasulullah saw. Benarkah demikian?

Dari Anas bin Malik ia berkata : "Adalah Rasulullah
berbuka dengan Rutab (kurma yang lembek) sebelum
shalat, jika tidak terdapat Rutab, maka beliau berbuka
dengan Tamr (kurma kering), maka jika tidak ada kurma
kering beliau meneguk air. (Hadits riwayat Ahmad dan
Abu Dawud)

Nabi Muhammad Saw berkata : "Apabila berbuka salah
satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma.
Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah
dengan air, maka sesungguhnya air itu suci."

Nah. Rasulullah berbuka dengan kurma. Kalau tidak
mendapat kurma, beliau berbuka puasa dengan air.
Samakah kurma dengan 'yang manis-manis'? Tidak. Kurma,
adalah karbohidrat kompleks (complex carbohydrate) .
Sebaliknya, gula yang terdapat dalam makanan atau
minuman yang manis-manis yang biasa kita konsumsi
sebagai makanan berbuka puasa, adalah karbohidrat
sederhana (simple carbohydrate) .

Darimana asalnya sebuah kebiasaan berbuka dengan yang
manis? Tidak jelas. Malah berkembang jadi waham umum
di masyarakat, seakan-akan berbuka puasa dengan
makanan atau minuman yang manis adalah 'sunnah Nabi'.
Sebenarnya tidak demikian. Bahkan sebenarnya berbuka
puasa dengan makanan manis-manis yang penuh dengan
gula (karbohidrat sederhana) justru merusak kesehatan.

Dari dulu saya tergelitik tentang hal ini, bahwa
berbuka puasa 'disunnahkan' minum atau makan yang
manis-manis. Sependek ingatan saya, Rasulullah
mencontohkan buka puasa dengan kurma atau air putih,
bukan yang manis-manis.

Kurma, dalam kondisi asli, justru tidak terlalu manis.
Kurma segar merupakan buah yang bernutrisi sangat
tinggi tapi berkalori rendah, sehingga tidak
menggemukkan (data di sini dan di sini). Tapi kurma
yang didatangkan ke Indonesia dalam kemasan-kemasan di
bulan Ramadhan sudah berupa 'manisan kurma', bukan
lagi kurma segar. Manisan kurma ini justru ditambah
kandungan gula yang berlipat-lipat kadarnya agar awet
dalam perjalanan ekspornya. Sangat jarang kita
menemukan kurma impor yang masih asli dan belum berupa
manisan. Kalaupun ada, sangat mungkin harganya menjadi
sangat mahal.

Kenapa berbuka puasa dengan yang manis justru merusak
kesehatan?

Ketika berpuasa, kadar gula darah kita menurun. Kurma,
sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah, adalah
karbohidrat kompleks, bukan gula (karbohidrat
sederhana). Karbohidrat kompleks, untuk menjadi
glikogen, perlu diproses sehingga makan waktu.
Sebaliknya, kalau makan yang manis-manis, kadar gula
darah akan melonjak naik, langsung. Bum. Sangat tidak
sehat. Kalau karbohidrat kompleks seperti kurma asli,
naiknya pelan-pelan.

Mari kita bicara 'indeks glikemik' (glycemic index/GI)
saja. Glycemic Index (GI) adalah laju perubahan
makanan diubah menjadi gula dalam tubuh. Makin tinggi
glikemik indeks dalam makanan, makin cepat makanan itu
dirubah menjadi gula, dengan demikian tubuh makin
cepat pula menghasilkan respons insulin.

Para praktisi fitness atau pengambil gaya hidup sehat,
akan sangat menghindari makanan yang memiliki indeks
glikemik yang tinggi. Sebisa mungkin mereka akan makan
makanan yang indeks glikemiknya rendah. Kenapa? Karena
makin tinggi respons insulin tubuh, maka tubuh makin
menimbun lemak. Penimbunan lemak tubuh adalah yang
paling dihindari mereka.

Nah, kalau habis perut kosong seharian, lalu langsung
dibanjiri dengan gula (makanan yang sangat-sangat
tinggi indeks glikemiknya) , sehingga respon insulin
dalam tubuh langsung melonjak. Dengan demikian, tubuh
akan sangat cepat merespon untuk menimbun lemak.

Saya pernah bertanya tentang hal ini kepada seorang
sufi yang diberi Allah 'ilm tentang urusan kesehatan
jasad manusia. Kata Beliau, bila berbuka puasa, jangan
makan apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu
sholat maghrib. Setelah shalat, makan nasi seperti
biasa. Jangan pernah makan yang manis-manis, karena
merusak badan dan bikin penyakit. Itu jawaban beliau.
Kenapa bukan kurma? Sebab kemungkinan besar, kurma
yang ada di Indonesia adalah 'manisan kurma', bukan
kurma asli. Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh
berlipat-lipat banyaknya.

Kenapa nasi? Lha, nasi adalah karbohidrat kompleks.
Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga
respon insulin dalam tubuh juga tidak melonjak. Karena
respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan tubuh
untuk menabung lemak juga rendah.

Inilah sebabnya, banyak sekali orang di bulan puasa
yang justru lemaknya bertambah di daerah-daerah
penimbunan lemak: perut, pinggang, bokong, paha,
belakang lengan, pipi, dan sebagainya. Itu karena
langsung membanjiri tubuh dengan insulin, melalui
makan yang manis-manis, sehingga tubuh menimbun lemak,
padahal otot sedang mengecil karena puasa.

Pantas saja kalau badan kita di bulan Ramadhan malah
makin terlihat seperti 'buah pir', penuh lemak di
daerah pinggang. Karena waham umum masyarakat yang
mengira bahwa berbuka dengan yang manis-manis adalah
'sunnah', maka puasa bukannya malah menyehatkan kita.
Banyak orang di bulan puasa justru menjadi lemas,
mengantuk, atau justru tambah gemuk karena kebanyakan
gula. Karena salah memahami hadits di atas, maka
efeknya 'rajin puasa = rajin berbuka dengan gula.'


*disalin dari sebuah milis

Sabtu, 19 Juni 2010

Film Pengalaman Pertama



Apaan nih?

Ternyata begini rasanya membuat film. Ya, inilah untuk kali pertama saya mengecap rasa produksi karya audio visual. Dilatarbelakangi workshop film yang diadakan Cinematography Club Fikom Unpad sebagai mekanisme penerimaan anggota, saya dan beberapa rekan yang sama-sama "newbie" dapat menyelesaikan film ini. Film pertama yang kalau dibandingkan dengan film pertamanya Riri Riza -bisa langsung dapet penghargaan di festival film luar negeri- tentu sangat jauh. Walaupun begitu, Inilah sensasi awal yang merangsang saya membuat film lagi lalu ketagihan lagi dan lagi. Keinginan untuk terus menghasilkan karya yang lebih baik pun terus menggelora.
Saya bahagia telah merasakan pengalaman pertama ini.
Melihat kualitasnya yang "baru" seperti ini, memicu saya untuk lebih belajar lagi.

Jumat, 21 Mei 2010

Ditikam Pernyataan

"Memang lidah tak bertulang" dan mungkin kini ditambah "tak ada yang menghalangimu untuk menulis". Mungkin selain besar kamauan atau keinginannya, kita ini sebagai homo sapiens juga besar ngomongnya (baik itu lisan maupun tulisan tentunya). Apakah itu pembawaan "dari sananya" sehingga kita mengeluarkan pernyataan seakan tanpa ada kendali. Tidak dapat digeneralisasi memang, toh ada juga orang yang irit bicara.

Tak seperti monyet, burung, keledai, anjing, dan sebagainya yang kita jumpai di kebun binatang atau di habitatnya langsung, ungkapan atau pernyataan kita itu tidak hanya mewakili rasa lapar, marah, mengancam, puas, atau ereksi, tetapi lebih dari itu. Pernyataan kita mewakili (merepresentasikan) siapa kita: dalam atau dangkalnya "otak" kita, tinggi atau rendahnya martabat kita, seorang yang konsekuen atau pembualnya diri kita dalam hal kesesuaian ucap dan sikap.

Dapatkah "pernyataan" itu diklasifikasikan sebagai benda gaib karena tidak terlihat wujudnya? Yang pasti ada atau tidak adanya wujud dari "pernyataan" itu sendiri, efeknya akan selalu ada sebagaimana teori komunikasi, who says what, to whom, in which channel, with what effect. Membesarkan atau mengerdilkan orang lain, menyenangkan atau menyakitkan orang lain, memberi manfaat atau mudharat bagi orang lain, Kesemuanya potensial. Selain effek hasil respon orang lain macam itu, seperti yang diungkap diatas, "pernyataan" pun bisa diibaratkan pembunuh bayaran sikopat yang kita bayar yang tiba-tiba membalikkan badan dan menyerang kita. Saat kita telah ditikam, berarti kita sudah tergolong pengkhianat (pengingkar janji), pembual, atau si Omong Besar aka si Omong Doang.

Sebagaimana kamaluan yang harus kita jaga, "Pernyataan" harus dijaga ekstraketat. Tak sedikit masalah di dunia ini timbul karena begitu liar tak terkendalinya "Pernyataan" dari makhluk yang katanya berakal ini. Sebagai konsekuensi dari berdayanya pikiran dan tenaga kita untuk "menyatakan" dan bertindak (membuktikan), segala hal yang bersumber dari kita, baik pernyataan maupun perbuatan niscaya akan dipertanggungjawabkan kepada yang telah memberi kita daya, untuk berpikir, berbuat, dan bicara (mengeluarkan pernyataan).

Kamis, 15 April 2010

Melayang-Layang

..........................................................................................................................................................................
.....................................................................................................................................................................
..............................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................
...............................................................................................................................................
........................................................................................................................................
.................................................................................................................................
..........................................................................................................................
...................................................................................................................
............................................................................................................
......................................................................................................
..........................................................................................................................................................................................
....................................................................................
.............................................................................
.......................................................................
..................................................................
.............................................................
.......................................................
.................................................
............................................
........................................
...................................
...............................
...........................
........................
....................
................
............
.........
......
....
..
.
Begitu rasanya tanpa pijakan.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More