Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Jumat, 03 September 2010

Allah SWT Bukan Sutradara dan Dunia Ini pun Bukanlah Panggung Sandiwara

"God is Director," tulis slogan sebuah film karya para sineas muda dari Bandung. Sedari awal mengetahui slogan itu, nampak tak ada keanehan didalamnya. Terlebih, film itu memang mencoba memberi pandangan tentang Tuhan di mata sepasang sejoli beda agama yang terikat cinta. Slogan itu terasa pas-pas saja dengan cerita film tersebut.

Namun, tahukah kita tentang sutradara itu seperti apa, sehingga ada pengibaratan akan Sang Pencipta dengan sebuah profesi manusia, kita sebagai yang merasa ciptaan-Nya bisa bersikap biasa saja dan berpikir pas-pas saja?

Saya sendiri pernah menjalani apa yang disebut di atas. Bukan menjadi Tuhan pastinya, melainkan HANYA sebagai sutradara film. Orang kebanyakan mungkin sering mengibaratkan sutradara sebagai Tuhan di dalam film. Namun, tahukah kita bagaimana Tuhan melakukan perannya sebagai pengatur kehidupan sehingga kita bisa "mengerdilkan" peran-Nya sebagaimana peran seorang sutradara yang memang kerdil?

Sutradara memberi interpretasi akan sebuah cerita dan diwujudkan dalam bentuk visual sesuai kehendaknya. Segala hal (akting, artistik, pengkameraan, dramatisasi. dan sebagainya) harus mengikuti imajinasi dan kehendaknya. Bila tak waspada, dengan keleluasaan kehendak seperti itu saya bisa-bisa jumawa dan merasa diri ini Tuhan. Namun, tahukah kita bagaimana mekanisme kehidupan ini berjalan diatur oleh Sang Pengatur sehingga kita beraninya merasa keberadaan Tuhan bisa kita gantikan?
Yang saya tahu, sutradara itu memiliki kekuasaan penuh untuk mengendalikan apa yang terekam, terutama untuk film fiksi. Bagaimana tingkah si pemain, tutur kata, karakter, apa yang terjadi sebelum dan setelahnya, dan apapun yang akan terekam oleh kamera. Kesemuanya diharuskan tak melenceng dari apa yang dibayangkan seorang sutradara. Bila sudah melenceng, sutradara akan berteiak "Cut!" dan adegan pun diulang sampai sesuai yang diinginkan.

Lalu bagaimana dengan Allah SWT yang saya yakini sebagai Tuhan Semesta Alam? Apakah Dia seperti sutradara (sebuah fungsi yang diada-adakan manusia saat medium perekam gambar mulai dimanfaatkan untuk membuat suatu cerita rekaan)???

Bila kita menjawab "ya", berarti saat itu pula kita memposisikan diri kita sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, di titik terendah, serendah-rendahnya derajat. Bagaimana tidak. Kita mengibaratkan diri kita sendiri seperti lakon atau wayang yang jangankan punya akal atau sebatas nafsu (sebagaimana hewan), untuk gerak pun harus digerakkan oleh pihak lain atau mengikuti kehendak pihak lain. Hanya diam. Kalaupun bergerak, hanya berlaku "bo'ong-bo'ongan" (baca: akting) sesuai yang diharapkan si pengatur. Bila keliru atau tak sesuai maka harus mengulang.

"Lho bukannya kita ini memang hanya mengikuti kehendak Allah SWT?" sahut seseorang.

Anda bersepakat dengan sahutan itu?

Bila diteruskan mengikuti pemikiran tersebut, bisa-bisa kita berpikir bahwa kita masuk neraka (naudzubillahimindalik) pun adalah kehendak Allah SWT. Kita diciptakan hanya untuk dimasukkan ke dalam neraka. Betapa kejamnya Allah bila pemikiran seperti itu diamini. Dan betapa bodohnya kita bila tetap melanggengkan pengibaratan di atas yang melecehkan kehadirat Allah SWT dan kita sendiri sebagai ciptaannya.

Yang harus kita yakini, Allah hanya menetapkan tiga hal untuk manusia, dan sisanya dikembalikan kepada pilihan manusia dengan bermodalkan akal yang diberikan-Nya. Tiga hal tersebut adalah perihal kelahiran, jodoh, dan umur.

(Masih akan terus berlanjut)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More