Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Pemimpin Negara yang Telat Gaul

Pemimpin negara yang rakyatnya sering cetak "trending topic" (akhirnya) punya akun twitter. "Artis-artis twitter" Indonesia harus menepi dulu, Pak @SBYudhoyono mau lewat. (ilustrasi: merdeka.com)

"Shortcut" Pemenuhan Keinginan

Masih saja ada orang yang ingin penuhi hasrat keinginan duniawi melalui cara instan lewat praktik perdukunan berbalut guru spiritual di negeri yang gila hi-tech/gadget seperti ini. (foto: Shutterstock)

Perhatian di Tiap Malam Jelang Akhir Pekan

Telah menjadi pusat perhatian pemirsa di tiap Jumat malam. X Factor Indonesia mencetak ulang konstruksi idola melalui ajang yang katanya bukan hanya "singing competition". (foto: dusunblog.com)

Kenapa Perlu Giat 'Bikin' Film?

Janganlah dahulu menanyakan "Bagaimana", tanpa terjawab sebelumnya, "Mengapa" atau "Kenapa perlu/harus". Lalu "What for?" "Emang dengan banyak orang bikin film, so what?". (ilustrasi: net)

Cari yang Cocok, Jangan Cuma Cuco'

Tidak mutlak nyatanya jika pria itu menyukai wanita dengan tubuh yang aduhai dan wajah yang cantik jelita. Ada hal lain pada diri wanita yang membuat pria tertarik. (foto: Reuters)

Senin, 27 Februari 2012

Dari Bangun Hingga Tidur, Dikuasai Asing



Pernahkah Anda menyadari, dari bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur lagi, semuanya telah dikuasai asing? Tengok saja, dari mulai minum Aqua (74% sahamnya dikuasai perusahaan Danone asal Prancis), atau minum teh Sariwangi (100 % sahamnya milik Unilever, Inggris), minum susu SGM (milik Sari Husada yang 82% sahamnya dikuasai Numico, Belanda), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (milik Unilever), merokok Sampoerna (97% sahamnya mililk Philips Morris, Amerika Serikat). Makan nasi pakai beras impor. Minum manis, pakai gula impor. Makan buah pakai buah impor. 


Belum lagi soal tempe yang dipatenkan Jepang. Batik yang dipatenkan Malaysia. Mebel Jepara dikuasai asing. Bahkan, kue gemblong yang panganan Jawa itu pun konon sudah diproduksi di Jepang. Lalu berangkat kerja naik mobil, bus, motor, atau bajaj sekalipun, semuanya bermerk milik perusahaan asing. Di kantor segala ruangan penyejuknya (Air Conditioner) menggunakan merek asing. Pakai computer, nonton teve, telepon selular termasuk operatornya, semua sudah dimiliki perusahaan asing.


Mau belanja pergi ke supermarket Carrefour, milik perusahaan Prancis, bahkan supermarket Alfa pun sudah jadi milik Carrefour dengan penguasaan saham 75%. Atau ke mall Giant, hypermarket itu milik Diary Farm International, Malaysia (yang juga pemilik saham di supermarket Hero). Atau malam-malam cari cemilan ke Circle K, juga merupakan waralaba asal perusahaan Amerika Serikat. Mau menabung atau mengambil uang di bank swasta nasional, mau bank yang mana saja terserah: apa itu BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, dan bank swasta nasional lainnya, hampir semua bank swasta nasional itu sudah milik perusahaan asing (sekalipun masih tetap melekat diistilahkan bank swasta nasional). Bangun rumah pakai semen Tiga Roda bikinan Indocement, kini sudah menjadi milik Heidelberg, Jerman yang menguasai sekitar 61,70% saham. Atau mau pakai Semen Gresik, juga sudah milik Cemex, Meksiko. Begitupun Semen Cibinong setali tiga uang: 77,37 % sahamnya sudah dimiliki Holchim, Swiss. (Majalah Swa, Juli, 2006).


Kalau mau disebut satu per satu ketergantungan kita terhadap perusahaan asing tentunya bakal panjang daftarnya, dan memalukan. Karena akan semakin terlihat betapa sangat tergantungnya kita dengan perusahaan asing. Tapi memang begitulah realitanya, bahwa bangsa kita sebenarnya (kalau mau jujur) sudah dijajah bangsa asing. Kalau dulu sebatas Belanda dan Jepang, sekarang ini beragam bangsa asing mencengkeram negeri kita. Negeri yang jadi banca’an (rebutan) asing. Orang mungkin akan bilang, “Ah, sok nasionalis” ; ”kuno, kampungan!” atau alasan yang lebih kerennya lagi : “DI era globalisasi ekonomi seperti ini, di zaman modern seperti sekarang ini, tentunya kita tidak bisa menolak pengaruh dan terhindar dari perdagangan internasional. Bangsa Indonesia akan jauh tertinggal, bahkan kesulitan ekonomi, jika menolak masuknya investasi asing”. Begitulah ucapan yang kerap dilontarkan para pengamat, bahkan pejabat pemerintah Indonesia, yang intinya selalu membela bangsa asing. Padahal, dengan kondisi kita seperti sekarang ini, sekalipun sudah banyak perusahaan asing bercokol di Indonesia yang masuk menguasai berbagai bidang(sebagaimana disinggung di atas), toh Indonesia masih saja jauh tertinggal dari negara-negara tetangganya alias tetap saja miskin.


Ada pula yang berpendapat, investasi asing atau beralihnya kepemilikan perusahaan local menjadi milik asing itu tidak masalah. Toh mereka (Baca: perusahaan asing) membuka lapangan kerja, bayar pajak, menumbuhkan perekonomian nasional (?), dan segudang alasan hebat lainnya. Boleh jadi di satu sisi bisa dipahami alasan itu. Tapi persoalannya , apakah kita tidak mengelus dada melihat segala macam produk kebutuhan masyarakat itu telah dikuasai dan demi keuntungan asing? Sudahkah dihitung berapa repatriasi (pemulangan) keuntungan yang dibawa oleh perusahaan asing ke negerinya masing-masing? Pasti besar, dan trilyunan rupiah. Sebab, logikanya, perusahaan asing tentu tidak berinvestasi di Indonesia (dengan segala kemudahannya) jika tidak meraup untung gila-gilaan. Lalu dampaknya? Pada gilirannya, kita tidak akan kerepotan nantinya, lantaran begitu banyak dolar yang keluar dari sini akibat repatriasi ini.


Patut disadari, persoalan di sini bukan menolak perdagangan global, bukan menolak perusahaan asing berinvestasi di Indonesia. Melainkan, yang jadi persoalan adalah: bagaimana bisa perusahaan asing itu menguasai begitu dahsyat pasar di Indonesia sementara kita hanya menjadi penonton? Sekarang coba saja renungkan. Andai saja perusahaan-perusahaan asing itu memang sejak awal menanamkan modal lewat PMA (penanaman modal asing) dengan ketentuan pembatasan saham dan bidang-bidang mana saja yang boleh dan tidak boleh digarap, barangkali tidak begitu masalah. Tapi ini tidak demikian. Perusahaan asing itu justru telah membeli (saham mayoritas) perusahaan lokal (termasuk perusahaan plat merah yang di-privatisasi) yang sebetulnya sudah memiliki pasar dan menguntungkan. Jadi, sebetulnya perusahaan asing itu tinggal memetik hasil keuntungannya. Ibarat kata, perusahaan asing itu ditawari barang bagus, ya dibeli karena manjanjikan keuntungan yang berlipat-lipat.


Maka, menjadi pertanyaan kemudian: kita (negara ini) punya barang bagus, lho kok dijual ke asing? Coba siapa yang berani bilang bahwa rokok keluaran Sampoerna itu rugi? Tapi, toh saham Sampoerna dijual ke Marlboro. Atau siapa bilang Indosat, Telkomsel, Bank BCA, Semen Tiga Roda, itu perusahaan-perusahaan merugi sehingga harus dijual ke asing? Memang, secara hitung-hitungan ekonomis, bagi pengusaha swasta lokal dengan menjual sahamnya ke pihak asing akan mendapat fresh money yang besar. Seperti halnya pemilik pabrik rokok Sampoerna mendapat uang tunai sebesar Rp 18,58 trilyun dengan menjual 40% saham milik keluarga Sampoerna ke Philips Morris pemegang merk rokok Marlboro, asal Amerika Serikat. Bahkan selanjutnya Philip Morris pun terus memburu saham Sampoerna melalui penawaran tender, yang akhirnya menguasai 97% saham PT HM Sampoerna, dengan mengeluarkan dana Rp 45,066 trilyun. “Semua kami bayar dengan dana tunai”, ungkap Martin King, sesaat setelah dinobatkan menjadi Presdir HM Sampoerna yang baru (Kompas, 19 Mei 2005). Alhasil berpindah tanganlah perusahaan lokal kebanggaan Indonesia itu ke tangan perusahaan asal Amerika Serikat. Jadi pengusaha lokal membangun usaha, sudah maju, lalu saham dijual ke perusahaan asing, dan mereka dapat duit gede. Ibaratnya jual beli perusahaan. Tak peduli nasionalisme. Tak peduli perusahaan itu jatuh ke tangan asing. Begitulah cara berpikir pedagang (pengusaha): selalu cari untung.


Tapi celakanya, cara berpikir (baca: mental) pedagang itu juga diadopsi mentah-mentah oleh para birokrat, para pengelola negeri ini (baca: pejabat pemerintah dan legeslatif), terutama pemegang otoritas perusahaan-perusahaan negara atau lebih akrab disebut BUMN. Alasannya: privatisasi! Cara-cara pengusaha swasta lokal yang menjual perusahaannya ke tangan asing atau pelepasan saham pemerintah di BUMN itu ke pihak asing, sebetulnya bisa saja diproteksi. Caranya melalui produk hukum yang ketat dengan batas-batas kepemilikan saham perusahaan asing. Jadi, kalau sekarang ini perusahaan asing bisa merajalela menguasai lahan-lahan Indonesia, tentu saja hal ini besar kemungkinannya ada unsur kesengajaan dari pihak kita. Dan hal inilah yang patut dipertanyakan: kenapa bisa? Alasan klasiknya, lantaran ekonomi kita sedang krisis, pemerintah tidak punya duit, pemerintah perlu menutup lobang APBN, dan alasan segudang lainnya. Namun apakah pembuat kebijakan tidak memikirkan apa imbasnya, bagaimana untung ruginya untuk bangsa ini, berapa besar repatriasi (pemulangan) yang dibawa bangsa asing dari negeri ini, berapa banyak karyawan atau buruh yang menganggur? Bukankah dengan membiarkan semakin jauh hal ini akan mengakibatkan tingginya ketergantungan kita terhadap pihak asing? Dengan kata lain kita sudah menyerahkan diri di bawah cengkraman atau atau dijajah pihak asing dan kita sudah tidak mempunyai daya, harga diri, dan keberanian. Kita sudah dijajah tanpa senjata, tanpa harus berperang.


Akan tetapi alasan yang lebih mendekati benar adalah kondisi ini sengaja diciptakan oleh bangsa kita sendiri lantaran para pegelola negeri ini (termasuk wakil rakyat pembuat undang-undang) telah terjangkit mental korup, mental suap. Betapa tidak, kondisi ketidakmampuan terhadap pihak asing ini diakibatkan oleh lemahnya hukum (produk hukum). Karena melalui produk hukum inilah penguasaan ekonomi Indonesia bisa mulus dilakukan pihak asing. Nah, produk hukum berupa undang-undang atau perangkat peraturan lainnya itu nyatanya dapat dibuat sesuai pesanan pihak asing. Tentu saja yang menjadi agennya adalah para birokrat dan anggota legeslatif yang duduk menggodok undang-undang. Karena dari tangan-tangan mereka-lah undang-undang memperbolehkan kepemilikan asing itu diterbitkan.


Kurang yakin? Lihat saja kasus marak yang terjadi di pertengahan tahun 2008. Untuk membuat amandemen UU No 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia saja, pejabat Bank Indonesia harus menggelontorkan dana Rp 31,5 milyar untuk menyuap beberapa anggota DPR Komisi IX. Kasus ini terkuak setelah diadilinya anggota DPR Komisi IX Hamka Yandhu yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan diadili di pengadilan tipikor (Tindak Pidana Korupsi) (Koran Tempo, 7 Juli 2008). Nah, bukankah menjadi besar kemungkinannya pula untuk menggelontorkan undang-undang yang melindungi kepentingan asing, para pembuat UU juga mendapat kucuran uang alias disuap?


Maka patut menjadi perhatian pula jika kita melihat isi Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 1994 tentang kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penaman modal asing. Pada pasal 2 ayat 1 dinyatakan, intinya perusahaan asing atau badan hukum asing boleh memiliki seluruh modal (saham) perusahaan di Indonesia. Belum lagi jika kita buka UU Migas, UU bidang pertambangan (UU Minerba), UU penanaman modal asing, kontrak karya pertambangan, dan lain sebagainya, yang memperlihatkan dominasi dan keleluasaan pihak asing untuk menjarah lahan di Indonesia. 


Lantas menjadi pertanyaan kemudian, mengapa sampai keluar produk-produk hukum begitu? Apakah dalam membuat peraturan-peraturan seperti itu tidak ada desakan dari pihak asing? Apakah pihak asing tidak ikut cawe-cawe atau mempengaruhi di balik layar saat membahas keluarnya produk-produk hukum itu? Bukankah hal itu jelas-jelas menguntungkan pihak asing? Apakah mungkin pihak asing itu bisa cawe-cawe secara gratisan alias tidak pakai uang? Mungkin pengakuan John Penkins dalam bukunya Confenssions of Economic Hit Man akan semakin membuka mata kita sekaligus membuktikan bahwa pihak asing ternyata ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah kita. Perkins menjelaskan bagaimana keterlibatan asing yang terlalu jauh dalam perekonomian nasional. Bahkan dirinya berperan sebagai agen perusak ekonomi yang beroperasi di Indonesia untuk menjadikan ekonomi Indonesia tergantung dan dikuasai asing, dengan berkedok sebagai konsultan pemerintah. Bahkan, tulisnya lagi, ada konspirasi yang melibatkan lembaga-lembaga internasional yang selama ini kita percayai akan membantu kita keluar dari krisis ekonomi (John Perkins, Pengakuan Bandit Ekonomi, Ufuk Press, Agusutus, 2007). 


Walhasil kerusakan yang diarahkan oleh para agen perusak ekonomi itu sangat luar biasa; negara kita menjadi terlilit utang, rakyatnya miskin, ketergantungan impor, di bawah cengkeraman pihak (perusahaan asing), dan menjauhkan kita dari bangsa yang mandiri dan modern. Namun tragisnya, sekalipun ada pengakuan John Perkins itu, toh tetap saja pemerintah masih mengikuti kebijakan (dan jebakan) ekonomi yang disodorkan lembaga-lembaga internasional pemberi pinjaman, jadi kita ini seolah menggunakan kacamata kuda. Jadi bicara soal serbuan investasi asing ini tidak semata-mata karena hitung-hitungan ekonomis dan kebutuhan turut serta dalam tren pasar global demi meningkatkan perekonomian nasional, ataupun menutup lubang APBN. Melainkan ada udang di balik batu: pihak asing sangat ingin menguasai pasar dan mengeruk sumber ekonomi kita. Karena bagaimanapun, negeri dengan 220 juta penduduk beserta limpahan hasil buminya ini merupakan jarahan yang potensial dan menarik untuk dikuasai. Dan ironisnya, untuk mencapai maksud itu justru dibantu oleh para pengelola negeri ini.

Dikutip dari : "Di Bawah Cengkeraman Asing" oleh Wawan Tunggul Alam (halaman 11 sampai 26)

Sabtu, 18 Februari 2012

Kenapa Perlu Giat 'Bikin' Film?


sumber foto: dokumentasi proyek CC Fikom Unpad

Pertanyaan ini muncul terinspirasi sebuah pertanyaan di situs jejaring sosial dari seorang rekan (sudah dipastikan bahwa dia adalah mahasiswa). Pertanyaannya kurang lebih seperti berikut, "Bagaimana menggiatkan mahasiswa agar minat membuat film?". Hanya saja, pertanyaan untuk bidang lain di luar film pun, masih belum terjawab bagi mahasiswa. Jadi fenomena atau gejala meluas sepertinya, mahasiswa lesu untuk berkegiatan dengan alasan tak punya waktu untuk melakukan hal yang lain-lain di luar kuliah. Benarkah dan bisakah jadi pembenaran? Kita tunda dulu persoalan mahasiswa yang satu itu.

Kita coba ilustrasikan membangun minat 'bikin' film dengan membangun minat baca. Ada suatu idiom, 'buku jendela dunia' atau 'baca buku, buka cakrawala dunia'. Kita bisa menganggap hal itu adalah sesuatu yang terbukti. Setidaknya bila kita membuka biografi orang-orang besar, membaca adalah salah satu dan mungkin merupakan hobi utama mereka. Bahkan sampai ada suatu diskursus atau penelitian yang menyoroti soal minat baca. Kenapa begitu? Sudah melekat bahwa orang yang kurang berwawasan adalah orang yang tidak suka baca.

Salah satu keterbelakangan bangsa sering dikaitkan pula pada minat baca yang rendah. Kita sendiri dapat merasakan bahwa dengan membaca wawasan kita bertambah dan semakin luas. Dengan demikian, tak ayal membaca buku menjadi suatu yang perlu digiatkan atau diminatkan (arti: membuat jadi minat).

Dengan mengetahui banyaknya manfaat dari membaca, atau pertanyaan dari "Kenapa harus atau perlu membaca?" sudah terjawab, para pihak berwenang ataupun aktivis atau pihak yang peduli kemajuan bangsa bisa memikirkan langkah selanjutnya: "Bagaimana agar orang-orang minat membaca?". Tentu untuk menuntaskannya akan didapati tantangan-tantangan. Namun, upaya takkan pernah padam mengingat faedah membaca sangat besar. Manfaat dari membaca itu sendiri apa, takkan dibahas dalam tulisan ini tentunya :)

Nah, sekarang bagaimana dengan 'bikin' film. Pola pikir serupa berlaku untuk kasus ini. Janganlah terlebih dahulu menanyakan "Bagaimana", tanpa terjawab sebelumnya, "Mengapa" atau "Kenapa perlu/harus". Persoalan minat yang ditanyakan di atas tak dapat terselesaikan bahkan takkan teresapi oleh penggiat yang bersangkutan atau aktivis yang akan menggalakkan bila tidak diketahui manfaatnya.

Apa-apa yang terpikir atas konsekuensi positif (manfaat) dari 'bikin' film tersebut, akan menjadi tujuan/motif dari orang-orang atau dalam hal ini mahasiswa yang ingin dijangkiti "virus" 'bikin' film. Kita bisa saja menyebut (atau mungkin lebih tepatnya menerka) apa yang kita dapat dengan 'bikin' film. Misalnya dapat duit (untuk proyek film bioskop masih mungkin), terkenal, sebatas 'having fun' atau 'seneng-seneng', 'ngabisin' duit, aktualisasi, eksistensi, dan masih banyak lagi. Apapun itu, motif perlu mucul/dimunculkan di lubuk hati.

Motif itulah yang akan jadi daya dorong. Seberapa lama dan seberapa kuat untuk konsisten akan sangat bergantung hal ini. Saat harapan itu tidak sesuai kenyataan atau saat keinginan tidak didapat, 'bikin' film akan ditinggalkan atau bahkan untuk yang belum terjun, 'bikin' film takkan dilirik.

Pertanyaan serta pernyataan di atas ditujukan bagi pembuat atau calon pembuat film. Nah, bagi orang-orang yang ingin agar orang lain turut meminati 'bikin' film ada pertanyaan tersendiri, "What for?" "Untuk apa" "Emang dengan banyak orang 'bikin' film, so what?" Bila kaitannya dengan organisasi atau komunitas basis kampus mungkin jawabannya adalah menjaga keberlangsungan organisasi/komunitas bersangkutan.

Layaknya SD Muhammadiyah dalam novel dan film Laskar Pelangi, sekolah itu tidak bisa melanjutkan aktivitas sekolahnya bila tak ada muridnya. Kalaulah memang kasusnya memang seperti itu, saya bisa menyarankan satu solusi, kenalkanlah dunia film seluas-luasnya.

Suatu penelitian sosial membuktikan bahwa seseorang akan butuh atau terdorong melakukan bila ia tahu manfaat. Contohnya orang primitif takkan butuh mobil sebelum ia dikenalkan mobil itu gimana, rasanya seperti apa, manfaatnya untuk apa. Soalnya, 'bikin' film itu bukan seperti makan, kecuali 'bikin' film itu untuk cari makan, pasti istilahnya bukan minat lagi, tapi panggilan hidup, panggilan untuk melanjutkan hidup.

Kalau pada kenyataannya film masih belum diminati setelah ada upaya pemutaran atau workshop (dua contoh yang terpikir untuk saat ini) berarti 'bikin' film belum jadi pemenuh bagi kebutuhan mahasiswa, atau bukan hobi yang asyik untuk digeluti bagi dirinya, dengan kata lain 'bikin' film tak dibutuhkan.

Hal yang sifatnya hobi, kesenangan, atau kegemaran itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipaksakan. Teringat film "Suckseed" dimana Kung dan Ped pada masa labil (kayanya SMA, bingung karena di sana celana seragamnya masih pendek) berganti-ganti hobi. Masa pencarian atau pengenalan itu memang perlu dilakukan sedini mungkin. Tapi sepertinya masa kini, anak-anak abg labil (ababil) akan dengan mudah mengenal banyak hal termasuk urusan 'bikin' film.

Apa yang saya sampaikan adalah suatu kontemplasi. Pendalaman terhadap diri perlu diteguhkan, sebelum atau saat mengekspresikan sampai mengajak orang lain turut serta atau mengikuti apa yang kita lakukan. Mengharapkan ada generasi pembuat film yang berkualitas adalah sesuatu yang mulia. Cara yang bisa dilakukan: dukunglah siapapun yang muncul dan ingin berkembang. Bila kitapun ingin turut membidani lahirnya pembuat film berkualitas, 'share'-lah ilmu yang kita punya dengan tulus (gak tulus pun gak apa-apa deng, yang penting ngasih aja...hahaha...cuma bersangkutan yang ngasih gak dapet apa-apa aja...hehehe).

Jumat, 10 Februari 2012

Tidak Selalu Holliwood yang Terbaik

Film Club by David Gilmour
Sebuah buku atau lebih tepatnya novel menarik dimiliki oleh seorang teman. Novel itu berjudul “Klub Film” karya David Gilmour berisi kisah pribadinya dalam mendidik anak melalui film. Novel tersebut adalah kisah nyata seorang ayah yang mengizinkan putranya berhenti bersekolah–asalkan putranya itu mau menonton tiga film seminggu. Wow! Apa argumentasi atas hal itu berhenti saat menyebut alasannya hanya karena faham liberal yang dianut di Amerika sana? Rasanya tidak. Ada suatu pembelajaran dalam menonton film-film. Apakah itu? Saya perlu baca dulu novelnya.
Mulai hari dan berlanjut lagi di bulan berikutnya, saya akan mem-post film-film yang saya tonton selama satu bulan. Setidaknya bagi saya sendiri itu sebagai dokumentasi atas rekam jejak film-film yang telah saya tonton. Salah satu alasannya, kita mungkin kadang sering lupa film-film apa saja yang sudah kita tonton dan apa-apa saja catatan menarik atas film-film tersebut. Selain menyebut film dan catatan menarik atas film tersebut, saya pun akan memperingkatkannya. Tentu saja itu sesuai selera saya…hehehe.
Mari kita mulai.Bulan Januari lalu saya sukses menonton film hingga tuntas dengan sadar tanpa paksaan dan tidak mengantuk yaitu sebanyak 10 film, diantaranya ditonton lebih dari sekali. Rasa atau feel dari kesepuluh film tersebut cukup beragam. Film sweat percintaan hingga film darah-darahan, terlahap tanpa menyengajakan sebelumnya genre ataupun jenis film yang akan ditonton. Langsung saja, inilah peringkatnya dimulai dari peringkat paling buncit, versi Abdalah Gifar :)
10. Ilusion Theatre
sumber foto: dpirates.com
Film omnibus ini adalah karya tiga sineas Korea yang ketiganya bersetting teater (tempat pertunjukkan). Subtitel yang jauh dari kata sempurna membuat film ini sulit dimengerti. Selain memang film ini terasa kurang efektif dalam penuturan gambar, sehingga dialog benar-benar jadi tumpuan untuk memahami film ini. Saat dialognya tidak kita mengerti. Mengerti apa kita soal film ini.
Film pertama adalah (yang tertangkap) tentang sebuah pertunjukan drama bertopeng yang sedang disaksikan oleh seorang pria yang membawa anjing dan dia diikuti pria gendut (siapa dia? entahlah) yang tidak fokus melihat drama di panggung. Tak ada penonton lain dalam pertunjukkan tersebut. Drama panggungnya tentang apa? Entahlah. Hingga tiga pemeran dalam panggung itu menyudahi aksi teaternya yang memang memukau secara sinematografi. Dan ternyata pemeran utama dalam teater dan pertunjukkan teaternya itu sendiri ada hubungan dengan pria yang menonton yang membawa anjing tersebut. Konklusi didapat di akhir.
Film kedua tentang tentang anak pedang daging sapi yang menjumpai manusia berkepala sapi pembasmi setan (entah zombie, entah dracula, entah vampir, tapi yang pasti cantik, cewek Korea keturunan bule…hehehe). Ulasannya tidak bisa panjang lebar karena ketidakjelasan ceritanya.
Film ketiga, tentang aksi pembunuh berdarah dingin yang selalu bersama seorang anak perempuan dalam menjalankan aksinya. Tokoh sentral dari film ini sendiri adalah seorang pekerja film yang sedang berkonflik dengan rekan dan bosnya. Dengan menangkap sekilas itupun saya merasa sudah sangat cukup. Lanjut ah…
9. Hostel 3
image source: fearnet.com
Film berdarah-darah dan berunsur kekejaman. Tapi tidak sejam prekuel sebelumnya. Setelah ditelusuri, sutradara film ini berbeda dengan dua seri sebelumnya. Di film ini pertunjukan penyiksaan demi hiburan tersebut telah di-manage dengan serius dan lebih canggih walau citarasa tempat misterius dan tersembunyi masih diangkat dalam film ini.
8. Malena
image source: annyas.com
Bagaimana imajinasi seorang anak yang mulai puber melihat wanita idola pria satu kota kecil di Italia. Wanita itu adalah Malena. Kepolosan dan freak-nya bocah pada cerita film ini masih bisa saya terima. Selain berpusat pada inti cerita yang demikian, Malena pun menyuguhkan latar jatuh dan bangkitnya negara fasis Italia dalam perang. Itu pula yang terepresentasi pada karakter yang dimainkan Monica Bellucci.
7. Midnight in Paris
image source: bleedingcool.com
Banyak kritikus film menganggap film ini adalah film yang cerdas. Saya dapat menyimpulkan seperti itu karena film ini diganjar Golden Globeuntuk penulisan skenarionya. Saya pun mengakui itu setelah menonton film ini. Begitu jeniusnya Woody Allen melakukan pembacaan atas sastra dan seni kalsik pada umumnya. Namun, bagi yang tidak akrab dengan dunia sastra, film ini jadi film yang membosankan. Dialog beserta pengadeganan yang pas membuat saya jadi mengagumi Woody Allen.
6. Crazzy Little Thing Called Love
image source: megindo.net
Film so sweat! Thailand memang terbukti bisa menyita perhatian penonton film di Indonesia. Mindset bahwa film Hollywood is the bestbagi saya pribadi tergoncang pasokan film-film berkualitas dari negara-negara Asia, salah satunya dari Thailand.
Film yang lebih berperspektif atau bersudut pandang wanita ini menyuguhkan cerita bak Betty Lavea. Namun tetap saja penuturan yang jenaka dan satir secara lengkap dalam film ini membuat yang menonton dan yang belum mati rasa, akan merasa meringis teriris dan bisa menuai senyum dan tangis. Hanya memang pakem akan kisah cinta bagi remaja yang berujung bahagia tidak coba diganggu gugat oleh film ini walaupun kesempatan itu dalam cerita sangat terbuka. Film ini berhasil memainkan dinamika perasaan, ekstrem titik bawah (sedih) dan ektrem titik atas (bahagia).
5. The Burning Plain
image source: imdb.com
Saat saya SMP, saya sudah sangat suka dengan filmBabel, dan cukup suka dengan film 21 Grams. Menurut saya kedua film itu selain menghaluskan perasaan saat menontonnya tapi juga mengasah pikiran atau kecerdasan. Dua film itu sangat menginspirasi. Hingga saya pun menemukan penulis cerita dari kedua film tersebut membuat atau menangani sendiri ceritanya. Dalam film ini Guillermo Arriaga menjadi sutradara.
Film ini membawa sensasi yang sama saat menyaksikan dua film yang saya sebut di atas saat masa remaja dulu. Dengan kisah berlapis, padahal masih karakter yang sama, membuat saya bisa merasakan berkecamuknya hati karakter utama pada film ini.
Bila ceritanya ditarik garis linear, tidak dibuat dengan plot bolak balik dan acak, mungkin feel dari film ini tidak akan terasa. Sebatas begitu saja (Gimanamaksudnya, tonton saja). Namun saat diacak dan saya dibuat berpikir dan fakta diungkap perlahan satu persatu, film ini menjadi film yang bisa mengantarkan rasa. Setidaknya itulah salah satu parameter film berkualitas bagi saya: mengantarkan rasa, ibarat hujan yang dinginnya itu terasa.
4. Sleeping Beauty
image source: iwatchonlinemovies.com
Film jenis baru yang pernah saya tonton. Saat tahu bahwa sutradaranya adalah seorang sastrawan, saya jadi mulai menerawang mungkin seperti inilah film sastra. Banyak hal dari film ini tidak mengikuti pakem sebuah film yang dipropagandakan Hollywood. Film ini menawarkan penuturan yang berbeda. Resikonya memang bila tidak cerdas-cerdas menontonnya secara mendalam dengan mengoptimalkan perasaan dan pikiran, film ini dapat tergelincir menjadi film yang membosankan di mata penonton film yang telah terpahat film-film Hollywood. Aksi pemeran film ini yang pada masa kecilnya juga membintangi film Ghost Ship, cukup bisa membuat penonton bertahan.
Film yang bisa jadi bahan diskusi bagi penonton film yang ingin cerdas dalam menonton film. Karakter, apa yang ingin dicari atau diraih oleh si karakter, dan masalahnya atau dengan istilah lain ketiganya disebut premis, tidak dituturkan dengan cara biasanya (ala Hollywood). Kita sendiri yang diajak menerka. Apa sih masalah si tokoh utama. Penggunaan scoring yang hanya ada dalam dua adegan, serta tidak adanya hasrat dari si karakter dalam cerita merupakan sedikit dari absurd-nya film ini. Yang menarik, hanya dua kali pula kita bisa melihat si tokoh mengekspresikan jiwanya, yaitu saat adegan dimana teman entah pacarnya yang sakit tengah sekarat dan saat dia terbangun dari tidurnya. Bukan kebahagian yang ia rasakah saat tersadar dari tidur lelapnya bak putri tidur yang dicium pangeran, melainkan histeria.
Setelah menonton dan berdiskusi dengan teman, saya akhirnya menyadari bahwa film ini bercerita tentang kematian. Apa yang kita tahu tentang dongeng Sleeping Beauty menjadi ironi bila tetap disematkan pada film ini.  Sebagai informasi, ini adalah film dari Australia.
3. Watchmen
image source: rss.warnerbros.com
Sejak dulu saya sudah dicekoki film-filmsuperhero yang bentuknya tim. Sebut saja tontonan anak masa itu, Power Rangers. Apa yang dibangun dari filmsuperhero semacam itu, membuat pola pikir selain dari pada hobi tontonannya, yaitu kecenderungan untuk bekerja sama dalam suatu tim. Dari sisi tontonannya, saya jadi begitu suka film yang menggunakan potensi banyak orang dengan kecerdasan serta kepemimpinan yang ada di dalamnya.
Inilah evolusi akhir dari keberadaan superhero yang sangat terkait dengan politik sampai perang. Dengan premis yang menarik, apakah superhero bisa menangkal perang. Bila kadarnya masih membasmi kejahatan dari seorangvillian, banyak superhero bisa melakukannya. Untuk urusan perang, Watchmenyang “turun tangan”.
Walau untuk film ini jangan mengharap visual efek yang benar-benar ciamik seperti Dark Night misalnya. Karena film ini memang saya pikir tidak berfokus ke sana. Kontemplasi dari superhero yang juga masih manusia, menjadikan film ini beda dari film serupa kebanyakan dan berhasil mengambil hati saya.
2. Drive
image source: free-ost.com
Diam-diam menghanyutkan. Pada dasarnya saya suka film yang mengajak berpikir dan mendalami perasaan, selain dari aksi dan sinematografi yang memukau. Ini film komplet menurut saya. Memberi hiburan yang berbeda dalam menonton film. Dengan dialog yang minim dan brutalitas yang tiba-tiba, sensasi film ini seperti terapi kejut dengan aliran listrik. Hal lain yang menarik, nama dari si karakter utama sama sekali tidak pernah tersebut. Sebutannya hanyalah Driver.
Penggunaan simbol yang menjadi ikon dari si karakter yaitu logo kalajengking pada jaketnya adalah satu-satunya klu untuk karakter si tokoh utama. Mungkin kamu pun tahu bagaimana karakter seekor kalajengking. Selalu waspada dan cool, cenderung kaku dengan adanya capit, tapi tanda terduga bisa sangat mematikan dengan sengatan ekornya.
Film yang mangajak rileks dan terkejut dengan cepat. Di sini Ryan Gosling makin membuktikan kualitas aktingnya yang bisa masuk berbagai karakter. Decak kagum untuk film ini.
1. Suckseed
image source: baguskurniawan.com
Inilah film juara untuk film yang saya tonton di Januari 2012. Film yang sangat personal bagi saya. Film tentang romantisme cinta monyet masa kanak-kanak yang berlanjut hingga massa abg labil yang sedang mencari jati diri. Band menjadi pilihan bidang yang digeluti oleh si tokoh utama dan sulitnya mengekspresikan cinta masih melekat pada si tokoh. Film ini pun menampilkan bintang yang sangat eye catching, Nattasha Nauljam.
image source: flikkenni.blogspot.com
Secara objektif, film ini memang lengkap. Film kisah remaja ini selain menampilkan keluguan dari cinta mereka, tak kalah menampilkan emosi suatu ikatan sahabat kental, serta semangat untuk meraih cita-cita. Secara penggarapan pun terbilang komplit. Unsur komedi dan musikal yang berpadu menjadi satu menjadi kekuatan film ini. Apalagi film ini pun disertai adegan-adegan animasi yang pas sehingga menjadikan film ini sebagai film yang fresh.
Perut dikocok, hati diiris, perasaan campur aduk, akan sangat terasa dalam menonton film ini. Bagi yang pernah mengalami masa semacam itu, ingatan pun akan terpanggil kembali. Film ini tak sekedar mengantarkan rasa tapi bahkan mencerminkan atau merefleksikan apa yang pernah atau sedang dirasa.
Sulit mengharapkan Hollywood akan membuat film serupa karena ada perbedaan budaya yang sangat kental berbeda. Walau kita sedang melihat film Thailand, kita seolah melihat film Indonesia dengan situasi budaya dan sosial yang ditampilkan dalam film ini. Lama saya tidak menemukan jenis film seperti ini, yang dekat dengan budaya Indonesia. 
Satu hal yang terlupa, sebagai film komedi musikal, lagu-lagu yang turut ambil bagian dalam film ini pun semakin menguatkan tontonan. Tak aneh, banyak teman dengan sangat sadar menularkan “virus” film ini karena memang film ini sangat luar biasa.

Selasa, 07 Februari 2012

"Wall" Penuh Ratapan

Antara dinding facebook dan dinding ratapan yahudi

Sahabat, tahukah kita apa makna WALL / DINDING yang ada di Facebook kita ?
Ada beberapa pertanyaan yang terkadang mengganjal di benak kita..

1) Kenapa harus 'WALL atau DINDING'?
2) Siapakah yang mewujudkan Facebook? (seperti yang kita ketahui bersama bahwa pencipta Facebook adalah Mark Zuckerberg, seorang berbangsa YAHUDI.)
3) Lalu, apakah kaitan WALL dengan YAHUDI??

Inilah jawabannya,
Kaitan mereka sangatlah ERAT & MESRA. Kenapa begitu?

Dinding Ratapan adalah tempat yang penting dan dianggap suci oleh orang Yahudi. Panjang tembok ini aslinya sekitar 485 meter, dan sekarang sisanya hanyalah 60 meter.

Orang Yahudi percaya bahwa tembok ini tidak ikut hancur sebab di situlah berdiam "Shekhinah" (kehadiran ilahi). Jadi, berdoa di situ sama artinya dengan berdoa kepada Tuhan. Orang Yahudi berdoa di Tembok Barat

Tembok ini dulunya dikenal hanya sebagai Tembok Barat, tetapi kini disebut "Dinding Ratapan" karena di situ orang Yahudi berdoa dan meratapi dosa-dosa mereka, meluahkan harapan, ratapan & segala²nya dengan penuh penyesalan. Selain mengucapkan doa-doa mereka, orang Yahudi juga meletakkan doa mereka yang ditulis pada sepotong kertas yang disisipkan pada celah-celah dinding itu. (WIKIPEDIA).

Lalu perhatikan Dinding sahabat sahabat kita kebanyakan di Facebook ?? Sesuai keinginan mereka bukan ??

Mark Zuckerberg, dengan sangat lihai dan terlihat samar, menciptakan Dinding Ratapan itu di Facebook.

Ya... Dinding Facebook sekarang berubah menjadi, TEMBOK RATAPAN di DUNIA MAYA.

Oleh karena itu, kita semua jangan jadikan "WALL FB" ini sebagai tempat luahan perasaan seperti mereka. Tapi, jadikan ia sebagai tempat pertemuan apa saja ILMU yang memberi manfaat kepada umat NABI MUHAMMAD صلى الله عليه وسلم walaupun hanya kepada seorang, contohnya: terjemah Al Qur'an, hadits Nabi, kata mutiara para ulama. Hati-hatilah......

Perhatikanlah hadits Nabi صلى الله عليه وسلم berikut ini..

“Sungguh, kalian akan mengikuti langkah orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, bahkan seandainya mereka masuk ke lubang dhabb pun,niscaya kalian akan masuk pula ke dalamnya”, kami bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah mereka yang dimaksudkan itu Yahudi dan Nashrani ?” beliau menjawab : “Siapa lagi kalau bukan mereka?”

(HR. Al Bukhari dalam Shahihnya, kitab Ahaditsul Anbiya, bab Ma Dzukira an Bani Israil 3456 dan Kitab Al I’tisham bil Kitab was Sunnah, bab Qaulin Nabi “latattabi’unna sanana man kana qablakum” no. 7320 dan Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al Ilmi 2669)

Jadi, pesan dari catatan ini adalah berhati-hatilah. Jangan jadikan akun facebook kita menjadi tempat berdoa karena kita akan seperti bertasyabbuh (menyerupai) orang YAHUDI. Jadikanlah Facebook sebagai bahan kita berbagi ilmu syar'i yang dapat memberikan manfaat kepada sesama umat NABI MUHAMMAD صلى الله عليه وسلم.

Allahu a'lam bish shawaab.

Ditulis oleh Salim Ibnu Abdul Choliq
Diketik ulang oleh Nadwah Dirosatil 'uluum Al Islaamiyyah.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More