Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Pemimpin Negara yang Telat Gaul

Pemimpin negara yang rakyatnya sering cetak "trending topic" (akhirnya) punya akun twitter. "Artis-artis twitter" Indonesia harus menepi dulu, Pak @SBYudhoyono mau lewat. (ilustrasi: merdeka.com)

"Shortcut" Pemenuhan Keinginan

Masih saja ada orang yang ingin penuhi hasrat keinginan duniawi melalui cara instan lewat praktik perdukunan berbalut guru spiritual di negeri yang gila hi-tech/gadget seperti ini. (foto: Shutterstock)

Perhatian di Tiap Malam Jelang Akhir Pekan

Telah menjadi pusat perhatian pemirsa di tiap Jumat malam. X Factor Indonesia mencetak ulang konstruksi idola melalui ajang yang katanya bukan hanya "singing competition". (foto: dusunblog.com)

Kenapa Perlu Giat 'Bikin' Film?

Janganlah dahulu menanyakan "Bagaimana", tanpa terjawab sebelumnya, "Mengapa" atau "Kenapa perlu/harus". Lalu "What for?" "Emang dengan banyak orang bikin film, so what?". (ilustrasi: net)

Cari yang Cocok, Jangan Cuma Cuco'

Tidak mutlak nyatanya jika pria itu menyukai wanita dengan tubuh yang aduhai dan wajah yang cantik jelita. Ada hal lain pada diri wanita yang membuat pria tertarik. (foto: Reuters)

Selasa, 07 Desember 2010

Sastra Bisa Menggugah, Menggugat, Mengubah Keadaan

Ketika menulis telah menjadi sebuah pilihan dengan segala resikonya. Kita harus setia kepadanya. Huruf-huruf yang terrangkai dan memiliki ruh jemari telah menjadi darah, dan kita yakin kita bisa hidup darinya. Sastra, menulis, identik dengan dunia sunyi, alam sepi. Namun kita begitu berterimakasih telah diberi sepi oleh Tuhan. Karena tanpa itu kita tak akan punya karya. Sastra dan seni juga identik dengan dunia gila. Kegilaan berkarya bisa mengubah keadaan, kita yakin itu. Selama kita memiliki komitmen dengan apa yang kita tulis. Bertanggung jawab atas huruf demi huruf serta tanda demi tanda baca yang tertera, maka kita yakin, semua tulisan kita berguna.

          Sastra, dunia yang asing dan termarjinalkan. Meski banyak melahirkan pemikiran, wacana, cara pandang dan sikap yang brilian, namun hingga detik ini bidang sastra masih terkucil. Padahal banyak tokoh-tokoh besar mengubah keadana Negara dengan sastra. Seorang Bung Karno, begitu cerdas menulis, berorasi, tentu bukan tanpa seni beliau berjuang memerdekakan negeri ini. Sejarah telah banyak mencatatnya, dan tak perlu dibahas di sini. Karena kita jelas sudah tahu JAS MERAH. Jangan Melupakan Sejarah. Nilai sastra, permainan kata manis yang sangat jenius! Begitu dalam memiliki makna.

          Sebagian besar orang tua tak menginginkan anaknya menjadi seorang penulis dan mendukung bergelut di dunia sastra. Penulis tak akan pernah punya masa depan, tidak menjanjikan apa-apa. Sebuah paradigma yang tentu saja sangat keliru. Dan saya pernah ada di dalam perkeliruan pemikiran itu.

          Besar di lingkungan konvensional dengan pemikiran ala Pegawai Negeri, membuat saya sempat terbelenggu menjadi seekor burung Nuri. Pada awalnya menurut kata orang tua, menjadi seorang Sarjana, Gelar Insinyur Perikanan kebanggan keluarga dengan predikat cumlaude. Namun ternyata hal ini tak bisa mengubah keadaan hidup saya yang sesungguhnya, yang ingin merasa berguna bagi diri sendiri dan bangsa ini. Begitu besar pengorbanan dan resiko yang saya ambil atas pilihan saya 8 tahun yang lalu, menjadi PENULIS!
Meninggalkan pekerjaan menjadi seorang pengajar di sebuah PTS di Surabaya, setelah sebelumnya dengan angkuhnya saya menolak tawaran menjadi pengajar di PTN tempat saya belajar. Pemikiran-pemikiran yang belum tertata dengan benar. Dan ketika badai besar melanda kehidupan keluarga dan perekonomiannya, saya langsung mengambil sikap hati saya yang sungguh, keluar dari sangkar besi, ingin terbang menjadi seekor Rajawali. Hati saya dikuatkan sajak si Burung Merak “Rajawali” sebuah sangkar besi tak akan bisa mengubah rajawali menjadi burung nuri.

           Dalam keadaan pailit hati, raga jiwa, saya menetapkan pilihan hati. Lari ke hal yang saya anggap paling benar hingga kini, mudah-mudahan sampai nanti. Menjadi penulis! Masih jauh pemikiran menjadi penyair atau sastrawati, mengingat itu bukan sebutan yang asal dan mudah meraihnya. Yang penting bisa menulis dengan hati dan menjadikannya obat sakit jiwa. Itu saja awalnya. Namun karena proses alam dan terus berusaha mengasah ruh jemari, ternyata tulisan-tulisan yang awalnya obat sakit jiwa itu menjadi berguna bagi orang lain. Bermula dari menulis curhat colongan atau roman-roman picisan yang begitu kosong makna, hingga beralih menulis drama kehidupan humanis social yang berasal dari sekolah di jalan. Angin dan debu sebagai guru. Berjalan, mendengar, melihat, dan merasa. Syair-syair anggur dan rembulan serta kalima-kalimat bersayap berlebih mulai saya buang. Karena saya begitu ingin karya saya berguna, dimengerti pembaca tanpa tersekat. Nyaring dari sisi bunyi! Menulis tinggi untuk bisa memberi dan membhumi.

           Seni adalah kebebasan yang bicara. Bicara menulis, bicara keberanian, sejauh mana tulisan kita berani dilihat, dibaca, didengar, dan dirasa hingga timbul pujian, hujatan atau cemoohan. Kemerdekaan berekspresi tanpa sekat ketakutan akan melahirkan karya-karya besar. Murni tanpa tendensi. Tulisan itu darah kita, karya itu nyawa kita.

            Saya begitu, sangat mencintai tanah air ini. semua yang saya tulis berasal dari bhumi pertiwi. Negeri ini sangat kaya warna, corak, ragam akan cerita, nama dan setting kearifan lokal. Kenapa kita mesti dengungkan negeri lain? Sudah saatnya karya-karya kita dengan setting Indonesia bisa berlaga ke dunia!
Banggalah jadi anak pertiwi. Menyuarakan Indonesia yang sebenarnya. Saya hanya menulis yang saya lihat, saya dengar, saya rasa. Negeri ini kaya cerita yang bisa ditulis untuk sebuah perubahan, pembaharuan! Kenapa banyak novel import yang begitu dikultuskan? JK Rowling dengan Harry Porter-nya, Stephenie Meyer dengan Tetralogi Twilight-nya. Karena kesalahan kita juga yang tak mau peduli menulis membhumi. Karena ini juga kesalahan kita yang tak pernah punya keyakinan bisa menulis kearifan lokal kita. Mencipta arus! Tanah air ini sangat kaya. Sudah masanya karya sastra kita dikenal dunia luar. Bukan kita yang terus menghamba kepada luar!

              Mengubah sesuatu keadaan memang tidak mudah. Semua harus diawali dari pembentukan pikiran dan bukti kongkrit apa yang bisa kita perbuat dari diri kita sendiri dulu. Karya seni sebuah bangsa mencerminkan bangsa itu sendiri. Bangsa ini makin lama makin tak terarah jelas tujuannya. Apa ini harus berarti karya seni kita tak jelas dan banyak yang membosankan, bermuatan isi itu-itu saja? Stuck? Bahkan cenderung mengalami kemunduran. Jelas kita sebagai seniman, penulis, tak mau dicap demikian. Mulailah membuat karya fenomental, beda!

              Dari pemikiran inilah, maka selama 3 tahun saya berproses melahirkan NOVEL ELANG (buku independent ke 4). Sebuah Novel kaya muatan kearifan local budaya negeri. Bicara Elang bicara Garuda! Novel yang bercerita tentang si kembar non identik (fraternal) yang begitu mencintai tanah air, Elang Timur, ilmuwan sejati dengan adik kembarnya, Elang Laut, penyair sejati.
Bicara Elang bicara keberanian. Bicara keberanian anak bangsa. Pantang mundur, setia kepada pilihan. Angin dan badai membuat terbangnya makin membumbung tinggi untuk kembali memberi dan membhumi bagi negeri. Tak mudah, namun kita harus mulai ini untuk bentuk sebuah protes akan keadaan bangsa yang makin menyebalkan ini. Negeri ini tak salah. Yang salah anak bangsanya, yang mengelolanya. Elang memiliki visi hidup, rela menderita untuk sebuah pembaharuan hidup 30 tahun ke depan. Ialah raja burung yang terpanjang usianya, tertinggi terbangnya. Belajarlah darinya. Derita adalah sebuah kekuatan, bukan kematian.

             Sudah pada masanya kita mencipta arus baru. Revolusi spiritual tanpa huru hara, tanpa darah. Semua buku saya terbit secara independent! Sesuka hati menulis, bebas terbang. Lewat sastra, lewat karya seni kita wujudkan sebuah pergerakan moral bangsa. Negeri ini milik anak-anak kita kelak. Dan kita orang tua dari mereka yang wajib menjaga, memberi karya terbaik buat kehidupan mereka. Karya Seni berperan untuk bangkitnya sebuah Negara. Lewat Sastra Membangun Negara!


Kirana Kejora
Penulis Independen

Kamis, 02 Desember 2010

Medali Emas di Olimpiade Sains Internasional dan Sistem Ranking di Dunia Pendidikan Kita


Assalaamu'alaikum, wr, wb.

Kita sering bangga mengetahui berita keberhasilan siswa Indonesia
mendapatkan medali di event olimpiade sains internasional. Kebanggaan itu
menjadi penyejuk dan pemberi asa akan masa depan bangsa kita, terutama di
tengah tengah berita berita buruk yang terjadi di masyarakat kita yang
kadang membuat kita seperti putus asa atas masa depan bangsa Indonesia.

Tetapi, tahukah anda bahwa sistem pemberian medali emas, perak dan perunggu di olimpiade sains tidak seperti di olimpiade olahraga yang biasa kita kita kenal ?



Berbeda dari olimpiade olahraga yang hanya memberikan satu emas, satu perak dan satu perunggu untuk setiap perlombaan, Olimpiade sains memberikan penghargaan medali emas, perak, dan perunggu kepada lebih dari tiga peserta. 10 % siswa dengan nilai tertinggi berhak mendapatkan medali emas. 20% siswa berikutnya mendapatkan medali perak, dan 30% berikutnya
mendapatkan medali perunggu. Dengan demikian, 60% peserta pasti akan
mendapatkan medali emas, perak atau perunggu. Di luar top 60% itu, ada para peserta yang akan mendapatkan sertifikat penghargaan semacam "juara
harapan"; dan sisanya akan mendapatkan piagam penghargaan sebagai "peserta".

http://en.wikipedia.org/wiki/International_Chemistry_Olympiad

So, what gitu loh ?! :)

Sebagian besar di antara kita tentu akan bergumam, "ooo, ternyata begitu,
tho." dan sejurus kemudian, sisi negatif thinking kita akan berkata, "wah,
ternyata tidak sulit untuk mendapatkan medali di olimpiade sains
internasional." Dan tiba tiba, kita tidak lagi bangga dengan medali medali
yang diraih anak anak kita di olimpiade sains internasional tsb.

Negatif thinking itu menurut saya adalah buah dari sistem ranking yang
diterapkan di sekolah sekolah di negeri kita. Sejak kecil, anak selalu
diranking terhadap anak yang lain. Perankingan itu selalu menghasilkan n
posisi juara nomor x, dimana x adalah bilangan bulat positif dan n adalah
jumlah siswa. Dengan demikian, hanya ada satu orang juara satu, satu orang
juara dua, dan seterusnya, hingga pasti ada satu orang juru kunci juara ke-n.

Dengan sistem seperti ini, maka hanya segelintir siswa saja yang mendapatkan apresiasi. Mayoritas siswa tidak mendapatkan apresiasi; tidak peduli betapapun keras usaha mereka, betapapun tinggi nilai mereka. Mereka tidak mendapatkan apresiasi dari guru, dan dari masyarakat atas apapun yang mereka capai, kecuali juara 1, 2 atau 3. Apresiasi menjadi barang langka bagi
siswa. Celakanya, orang tua pun juga memiliki pandangan yang sama. Mereka
ikut ikutan pelit memberikan apresiasi thd anak mereka karena anak mereka
"tidak mendapat ranking". Mayoritas anak Indonesia tumbuh dalam suasana
miskin apresiasi karena guru, orang tua, dan masyarakat sangat pelit dalam
memberikan apresiasi.

Kelak, ketika dewasa, anak anak itu juga akan pelit memberikan apresiasi.
Anak anak itu adalah kita kita sekarang ini. Kita yang tiba tiba turun -atau
bahkan hilang seketika- respek dan apresiasi kita untuk anak kita yang
berhasil meraih medali perunggu, perak, bahkan emas sekalipun di olimpiade
internasional; semata mata karena sekarang kita menjadi tahu bahwa bisa jadi anak peraih medali perunggu itu adalah ranking 60 dari 100 peserta, bisa
jadi peraih medali perak itu adalah ranking 30 dari 100 peserta, dan bisa
jadi peraih medali emas itu "hanya" ranking 10 dari 100 peserta. Sungguh
celakalah diri kita !

Hari ini, 4 anak saya mengenyam pendidikan sekolah dasar dan menengah di
Kanada. Negara yang masuk dalam kategori negara maju. Maukah saya
beritahukan kepada Anda rangking berapa anak saya di sekolah mereka? Tidak
ada satupun anak saya yang "mendapatkan ranking". Apakah saya kecewa dengan prestasi mereka? Tidak. Mengapa? Karena sistem pendidikan di Kanada sini tidak mengenal ranking. Tidak ada ujian kenaikan kelas. Tidak ada ujian akhir semacam EBTANAS atau UAN.

Semua siswa diapresisasi sesuai dengan attitude mereka, kemauan mereka untuk terus belajar, mencintai dan peduli kepada teman, guru, orang tua dan
lingkungan mereka. Kemampuan akademik siswa tidak diranking thd sesama
siswa, tetapi thd pencapaian standar kurikulum. Ketika semua siswa telah
mencapai standar kurikulum yang disesuaikan dengan kemampuan "alami"
individu siswa, maka semua siswa adalah sang juara.

Mereka menjadi juara bukan karena bisa mengalahkan teman mereka; karena
teman memang bukan untuk dikalahkan. Mereka menjadi juara karena mereka
mampu menyelesaikan tugas yang diberikan kepada mereka dengan baik dan
benar. Mereka menjadi juara karena mereka bisa mengalahkan unsur unsur
negatif dari diri mereka: kemalasan, selfishness, akhlak yang buruk, dan
lain lain. Mereka menjadi juara karena mereka mau belajar untuk menjadi
manusia yang baik.

Apakah hanya Kanada yang tidak menerapkan sistem ranking? Tidak. Konon
kebanyakan negara maju memang tidak meranking siswa thd siswa lainnya. Dan buktinya, olimpiade sains internasional memberikan penghargaan kepada semua peserta olimpiade. Bukan karena fakta bhw mereka adalah siswa terbaik dari negerinya masing masing, tetapi karena tujuan dari pendidikan dan acara olimpiade itu sendiri adalah mendorong kecintaan para siswa kepada sains. Bukan untuk saling mengalahkan, tetapi untuk bersama sama menjadi sang juara, yaitu mereka yang gemar berfikir, mau meninggalkan kemalasan dan mau bersilaturahmi dengan teman teman mereka dari seluruh penjuru dunia.

Mudah mudahan sistem ranking di sekolah sekolah di Indonesia segera lenyap.

Setujukah anda dengan do'a saya ini?

Wassalam,

Rois Fatoni
Dosen Teknik Kimia Universitas Muhammadiyah Surakarta

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More