Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Pemimpin Negara yang Telat Gaul

Pemimpin negara yang rakyatnya sering cetak "trending topic" (akhirnya) punya akun twitter. "Artis-artis twitter" Indonesia harus menepi dulu, Pak @SBYudhoyono mau lewat. (ilustrasi: merdeka.com)

"Shortcut" Pemenuhan Keinginan

Masih saja ada orang yang ingin penuhi hasrat keinginan duniawi melalui cara instan lewat praktik perdukunan berbalut guru spiritual di negeri yang gila hi-tech/gadget seperti ini. (foto: Shutterstock)

Perhatian di Tiap Malam Jelang Akhir Pekan

Telah menjadi pusat perhatian pemirsa di tiap Jumat malam. X Factor Indonesia mencetak ulang konstruksi idola melalui ajang yang katanya bukan hanya "singing competition". (foto: dusunblog.com)

Kenapa Perlu Giat 'Bikin' Film?

Janganlah dahulu menanyakan "Bagaimana", tanpa terjawab sebelumnya, "Mengapa" atau "Kenapa perlu/harus". Lalu "What for?" "Emang dengan banyak orang bikin film, so what?". (ilustrasi: net)

Cari yang Cocok, Jangan Cuma Cuco'

Tidak mutlak nyatanya jika pria itu menyukai wanita dengan tubuh yang aduhai dan wajah yang cantik jelita. Ada hal lain pada diri wanita yang membuat pria tertarik. (foto: Reuters)

Senin, 20 September 2010

Democrazy is...I mean democracy is...

Demokrasi itu gak ada matinya, iya gitu?  Walaupun sekarang bukan masanya pemilu dan marema-nya tukang kaos dan umbul-umbul, ngomongin demokrasi bisa kapan saja. Toh, orang-orang (coba perhatikan di media massa) pada akhirnya senang membalikan segala hal pada kata itu demokrasi, seolah-olah "ia" yang paling benar dan yang tidak sesuai dengan "ajarannya" itu salah.

Emang demokrasi itu apa sih? Orang yang katanya pakar dan ahli pun banyak memberikan pengertian dan interpretasinya pun bisa beragam. Namun, siapapun akan mengakui bahwa konsepnya sangat "indah" dan "brilian". Apakah serupa dengan pengejawantahannya dan implementasinya?

Sulit. Bisa dibilang utopis. Yang terjadi pada hambanya demokrasi akan terus mengalami sebuah kebingungan, sebuah kebingungan lagi, sebuah lagi, kebingungan lagi, lagi, dan lagi.



Karena pada dasarnya demokrasi bertumpu pada kuantitas bukan kualitas.



Segala strategi dilakukan untuk menang, menggulingkan kekuasaan yang ada, dan tinggal bersiap saja digulingkan pada permainan yang sama.



Setelah menang yang terjadi malah pembagi-bagian kekuasaan bagi kalangan terbatas yang dinilai sebagai kawannya.



Apakah ini sebuah antipati? Sama sekali bukan. Bukan sama sekali. Ini hanyalah sebuah pendefinisian atau dengan kata lain, pembatasan. Agar jangan sampai "ia" menanggung sesuatu yang di luar kapasitasnya.

Apakah demokrasi takkan pernah mati? Jangankan mati, hidup pun tidak. Yang ada, manusialah yang menghidupinya (baca: menganggap seolah-olah hidup) dengan memberi jati diri alias makna kepadanya. Jadi tak perlulah kita mengagung-agungkannya, seolah "ia" bisa menghidupi kita (baca: ngasih makan, ngasih rezeki).

Demokrasi hanyalah cara atau jalan BUKAN akhir, penuntasan, atau tempat segalanya kembali.



Coba pikirkan saja, pada "apa/siapa" kita harus kembali?

Dua Jenis Manusia


Ada dua jenis manusia. Pertama, yang membuat kisah pribadinya, dan kedua, yang membuat sejarah.


Tujuan mereka yang membuat kisah pribadi adalah untuk kepuasan dirinya sendiri, sedangkan manusia yang membuat sejarah berusaha untuk melayani seluruh manusia. Perhatian seorang yang membuat kisah pribadi berputar pada dirinya sendiri. Dia melayang-layang di sekitar wilayah di mana kepentingan dirinya dapat tercukupi. Hatinya penuh dengan kebahagiaan jika dia berhasil meraih sesuatu bagi dirinya, tetapi bila tidak ada sesuatu yang dapat diraihnya, maka tidak ada kebahagiaan dalam dirinya.


Sedangkan orang yang membuat sejarah adalah sosok yang berbeda. Ia keluar dari kerangka dirinya. Hidup bukan untuk diri sendiri tapi untuk satu tujuan yang lebih tinggi. Yang menjadi perhatian adalah masalah prinsip, bukan keuntungan. Ia tidak peduli apakah dirinya akan meraih kemenangan atau menderita kerugian; yang lebih penting adalah idealismenya harus tersalurkan. Seolah-olah ia telah melepaskan diri dari pribadinya sendiri dan menancapkan benderanya pada berbagai kepentingan kemanusiaan.

Lalu bagaimana agar dapat menjadi orang yang membuat sejarah? Ada satu hal yang harus dilakukan. Yaitu, berhentilah menjadi orang yang membuat kisah pribadi. Begitu seorang menghapuskan kepentingan pribadinya, maka dia akan mampu membangun masa depan kemanusiaan. Sosok seperti ini meletakkan keluhan-keluhannya hanya ke satu sisi. Figur seperti ini yang akan diperhitungkan dalam sejarah manusia. Mereka adalah orang-orang yang atas keinginannya sendiri, konsen terhadap kepentingan kemanusiaan; mereka tidak mengambil hak untuk mendapatkan perlindungan; mereka hanya memiliki tanggung jawab, yang mereka lakukan dengan resiko apa pun bagi dirinya.


Now, which one are you going to be?

Minggu, 19 September 2010

10 Bidang Di Mana Orang Memiliki Perbedaan


1. Ekstrovert lawan Introvert: Yang ekstrovert senang kerumunan orang banyak sementara yang introvert lebih suka melewatkan waktunya sendirian atau dengan seorang teman dekat. Yang ekstrovert bersemangat karena adanya orang-orang sementara yang introvert bisa jadi terkuras enerjinya karena adanya orang-orang.

2. Pelaku atau Pengamat: Para pelaku berani mengambil risiko; kalau melihat peluang mereka ingin segera memanfaatkannya sebelum terlambat. Para pengamat lebih hati-hati. Mereka suka memeriksa segalanya terlebih dulu sebelum mengambil keputusan.

3. Yang memberikan garis besar atau Yang memberikan rincian: Yang memberikan garis besar memiliki fokus yang umum dan melihat gambaran besarnya. Mereka berpikir menurut arah serta keinginan menjadikan segalanya terlaksana. Yang memberikan rincian memperhatikan hal-hal yang sekecil-kecilnya. Keprihatinan mereka adalah bagaimana caranya menjadikan segalanya terlaksana.

4. Tukang belanja atau Penghemat : Kalau tukang belanja memiliki uang lebih, mereka ingin membelanjakannya - untuk diri sendiri, untuk orang lain, untuk maksud-maksud yang layak, untuk apapun. Kalau penghemat memiliki uang lebih, mereka ingin menabungnya untuk jaga-jaga. Mereka tidak suka membelanjakannya kecuali sangat penting.

5. Perencana atau yang fleksibel : Perencana suka struktur di mana segalanya terorganisasikan dan terkemas dengan rapih. Mereka suka jadwal dan batas waktu. Yang fleksibel menyesuaikan diri dengan jalannya kehidupan dan menangani segalanya seadanya. Mereka cenderung spontan dan santai. Ketidak-rapihan tidak mengganggu mereka karena mereka percaya segalanya akan beres.

6. Yang tergesa-gesa atau yang santai : Yang tergesa-gesa selalu sibuk. Kecepatan serta efisiensi adalah kata kunci mereka - selesaikanlah sebanyak mungkin secepat mungkin. Yang santai meluangkan waktunya dan menetapkan kecepatan kerjanya sendiri. Mungkin mereka tidak menyelesaikan cukup banyak, namun mereka menikmati apa yang mereka kerjakan.

7. Pemikir atau perasa : Pemikir memfokuskan pada fakta-fakta dan prinsip-prinsip. Mereka dasarkan keputusan-keputusan atas data yang objektif dan cenderung berorientasi pada tugas. Perasa memfokuskan pada orang serta perasaan. Mereka dasarkan keputusan pada data yang subjektif dan cenderung berorientasi pada hubungan.

8. Pemimpi atau Pekerja : Pemimpi adalah orang-orang kreatif yang suka banyak idenya. Mereka optimis dan berorientasi pada masa depan. Pekerja bersifat praktis. Mereka suka mengambil ide orang lain dan melaksanakannya. Mereka cenderung bersikap realistik dan memfokuskan pada yang sekarang.

9. Pengumpul atau Pembuang : Pengumpul suka mengumpulkan barang-barang. Mereka tidak suka membuang apapun karena mereka takut kalau-kalau membutuhkannya kapan-kapan. Pembuang suka membuang barang-barang. Mereka tidak suka berantakan dan mereka bersikeras bahwa kalau sudah lama sesuatu itu tidak digunakan, mungkin takkan pernah digunakan.

10. Tukang akrobat atau Pemain tunggal : Tukang akrobat bersifat multi saluran dan dapat menangani banyak hal sekaligus. Pemain tunggal bersifat saluran tunggal dan hanya bisa menangani satu atau dua hal sekaligus. Kalau mereka mencoba mengerjakan lebih banyak, mereka menjadi stress dan kewalahan.

Kita semua berbeda dan unik. Itu menciptakan keseimbangan, keragaman, serta tantangan dalam hubungan-hubungan. Syukurilah perbedaan-perbedaan Anda; bicarakanlah juga perbedaan-perbedaan Anda itu.

Sumber: http://katamutiara.info/tulisan.php?id=7003


Kamis, 16 September 2010

Esai, Seni Menantang Kebekuan

Esai. Berasal dari kosa kata Perancis, essayer, yang secara umum bermakna “mencoba” atau “menantang”. Esai adalah karya yang bersudut pandang personal subyektif si penulis, bukan paper ilmiah yang penuh dengan catatan kaki dan taburan kutipan teori. Esai berisi pemikiran yang dipadu dengan pengalaman, observasi lapangan, anekdot, dan pergulatan batin si penulis tentang subyek yang ditulisnya.

Adalah Michel de Montaigne (1533-1592), penulis Perancis, yang pertama menyebut karya tulisnya sebagai esai. Montaigne menjadi kiblat bagi para esais terkenal, bahkan sampai di zaman modern ini.
Pada abad 15, di tengah hegemoni gereja, Eropa dilanda kebekuan berpikir. Montaigne datang dengan tulisan-tulisan yang bernada skeptis. Dia mempertanyakan teori, konsep, juga kemapanan. Manusia, menurut Montaigne, tak akan bisa menyuguhkan kebenaran sejati. Karenanya, esai berfungsi menantang pemikiran, konsep, dan juga tatanan yang ada.

Esai terpanjang Montaigne, Apology for Raymond Sebond, mengandung selarik moto yang terkenal: “Que sais, je? What do I know?” Berbekal pertanyaan mendasar inilah, “apa yang saya tahu?”, Montaigne menulis dan menyajikan gagasannya.
Esai adalah tulisan yang membawa misi khusus si penulis. Dengan ramuan dan formula yang tepat, dia memiliki daya gebrak yang luar biasa. Tulisan Montaigne memberi kontribusi luar biasa bagi perkembangan pemikiran di Eropa pada masa renaisans. Serial Catatan Pinggir pun memiliki tempat tersendiri di hati penggemarnya. Sengkon dan Karta, misalnya, adalah esai Goenawan yang amat kuat menggambarkan tragedi peradilan sesat yang menimpa orang kecil.

Jangan lupa pula, di masa pergerakan kita juga memiliki sederet esai yang mengguncang sendi kolonialisme dan membakar semangat kebangsaan. Salah satu yang terkenal adalah R.M. Soewardi Soerjaningrat dengan esai berjudul Als ik eens Nederlander was… (Seandainya Saya Orang Belanda) yang ditulis pada 18 Juni 1913.

Oleh : Mardiyah Chamim, Tempo Institute

Sabtu, 04 September 2010

Seni Mengekspresikan Cinta

Ada banyak bentuk cinta yang tak tereksprsikan oleh indahnya kata
mewahnya hadiah, atau senyum yang merekah
Namun ia dapat dirasakan
Ya, seperti oksigen yang sering kita hirup,
tak terlihat namun manfaatnya dapat dirasakan

Begitulah juga kita dapati arti cinta seorang ibu pada anaknya
ketegasannya, kekhawatirannya, serta kemarahannya
semua adalah bentuk cinta yang tereksprsikan dalam wujud lainnya.

Atau juga cinta seorang suami pada istrinyayang mungkin tak terungkap oleh kata-kota gombal nan lebai
namun, ia mewujud kesetiaan, pengorbanan, dan tanggung jawab

Maka, jangan pernah tertipu
dengan manipulasi kata yang aduhai, kerlipan mata yang menawan
atau semua cara untuk menarik perhatian

Maka disini kita belajar
Jangan pernah salahkan mereka yang tak dapat mengekspresikan cinta dengan baik
boleh jadi, kesetiaan dan tanggung jawabnya lebih bernilai
dibandingkan mereka yang banyak mengumbar kata-katanya

Selamat mencintai dan mengekspresikan cinta
dalam naungan cintaNya

dari Setia Furqon Kholid

Jumat, 03 September 2010

Allah SWT Bukan Sutradara dan Dunia Ini pun Bukanlah Panggung Sandiwara

"God is Director," tulis slogan sebuah film karya para sineas muda dari Bandung. Sedari awal mengetahui slogan itu, nampak tak ada keanehan didalamnya. Terlebih, film itu memang mencoba memberi pandangan tentang Tuhan di mata sepasang sejoli beda agama yang terikat cinta. Slogan itu terasa pas-pas saja dengan cerita film tersebut.

Namun, tahukah kita tentang sutradara itu seperti apa, sehingga ada pengibaratan akan Sang Pencipta dengan sebuah profesi manusia, kita sebagai yang merasa ciptaan-Nya bisa bersikap biasa saja dan berpikir pas-pas saja?

Saya sendiri pernah menjalani apa yang disebut di atas. Bukan menjadi Tuhan pastinya, melainkan HANYA sebagai sutradara film. Orang kebanyakan mungkin sering mengibaratkan sutradara sebagai Tuhan di dalam film. Namun, tahukah kita bagaimana Tuhan melakukan perannya sebagai pengatur kehidupan sehingga kita bisa "mengerdilkan" peran-Nya sebagaimana peran seorang sutradara yang memang kerdil?

Sutradara memberi interpretasi akan sebuah cerita dan diwujudkan dalam bentuk visual sesuai kehendaknya. Segala hal (akting, artistik, pengkameraan, dramatisasi. dan sebagainya) harus mengikuti imajinasi dan kehendaknya. Bila tak waspada, dengan keleluasaan kehendak seperti itu saya bisa-bisa jumawa dan merasa diri ini Tuhan. Namun, tahukah kita bagaimana mekanisme kehidupan ini berjalan diatur oleh Sang Pengatur sehingga kita beraninya merasa keberadaan Tuhan bisa kita gantikan?
Yang saya tahu, sutradara itu memiliki kekuasaan penuh untuk mengendalikan apa yang terekam, terutama untuk film fiksi. Bagaimana tingkah si pemain, tutur kata, karakter, apa yang terjadi sebelum dan setelahnya, dan apapun yang akan terekam oleh kamera. Kesemuanya diharuskan tak melenceng dari apa yang dibayangkan seorang sutradara. Bila sudah melenceng, sutradara akan berteiak "Cut!" dan adegan pun diulang sampai sesuai yang diinginkan.

Lalu bagaimana dengan Allah SWT yang saya yakini sebagai Tuhan Semesta Alam? Apakah Dia seperti sutradara (sebuah fungsi yang diada-adakan manusia saat medium perekam gambar mulai dimanfaatkan untuk membuat suatu cerita rekaan)???

Bila kita menjawab "ya", berarti saat itu pula kita memposisikan diri kita sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, di titik terendah, serendah-rendahnya derajat. Bagaimana tidak. Kita mengibaratkan diri kita sendiri seperti lakon atau wayang yang jangankan punya akal atau sebatas nafsu (sebagaimana hewan), untuk gerak pun harus digerakkan oleh pihak lain atau mengikuti kehendak pihak lain. Hanya diam. Kalaupun bergerak, hanya berlaku "bo'ong-bo'ongan" (baca: akting) sesuai yang diharapkan si pengatur. Bila keliru atau tak sesuai maka harus mengulang.

"Lho bukannya kita ini memang hanya mengikuti kehendak Allah SWT?" sahut seseorang.

Anda bersepakat dengan sahutan itu?

Bila diteruskan mengikuti pemikiran tersebut, bisa-bisa kita berpikir bahwa kita masuk neraka (naudzubillahimindalik) pun adalah kehendak Allah SWT. Kita diciptakan hanya untuk dimasukkan ke dalam neraka. Betapa kejamnya Allah bila pemikiran seperti itu diamini. Dan betapa bodohnya kita bila tetap melanggengkan pengibaratan di atas yang melecehkan kehadirat Allah SWT dan kita sendiri sebagai ciptaannya.

Yang harus kita yakini, Allah hanya menetapkan tiga hal untuk manusia, dan sisanya dikembalikan kepada pilihan manusia dengan bermodalkan akal yang diberikan-Nya. Tiga hal tersebut adalah perihal kelahiran, jodoh, dan umur.

(Masih akan terus berlanjut)

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More