Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Senin, 27 Februari 2012

Dari Bangun Hingga Tidur, Dikuasai Asing



Pernahkah Anda menyadari, dari bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur lagi, semuanya telah dikuasai asing? Tengok saja, dari mulai minum Aqua (74% sahamnya dikuasai perusahaan Danone asal Prancis), atau minum teh Sariwangi (100 % sahamnya milik Unilever, Inggris), minum susu SGM (milik Sari Husada yang 82% sahamnya dikuasai Numico, Belanda), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (milik Unilever), merokok Sampoerna (97% sahamnya mililk Philips Morris, Amerika Serikat). Makan nasi pakai beras impor. Minum manis, pakai gula impor. Makan buah pakai buah impor. 


Belum lagi soal tempe yang dipatenkan Jepang. Batik yang dipatenkan Malaysia. Mebel Jepara dikuasai asing. Bahkan, kue gemblong yang panganan Jawa itu pun konon sudah diproduksi di Jepang. Lalu berangkat kerja naik mobil, bus, motor, atau bajaj sekalipun, semuanya bermerk milik perusahaan asing. Di kantor segala ruangan penyejuknya (Air Conditioner) menggunakan merek asing. Pakai computer, nonton teve, telepon selular termasuk operatornya, semua sudah dimiliki perusahaan asing.


Mau belanja pergi ke supermarket Carrefour, milik perusahaan Prancis, bahkan supermarket Alfa pun sudah jadi milik Carrefour dengan penguasaan saham 75%. Atau ke mall Giant, hypermarket itu milik Diary Farm International, Malaysia (yang juga pemilik saham di supermarket Hero). Atau malam-malam cari cemilan ke Circle K, juga merupakan waralaba asal perusahaan Amerika Serikat. Mau menabung atau mengambil uang di bank swasta nasional, mau bank yang mana saja terserah: apa itu BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, dan bank swasta nasional lainnya, hampir semua bank swasta nasional itu sudah milik perusahaan asing (sekalipun masih tetap melekat diistilahkan bank swasta nasional). Bangun rumah pakai semen Tiga Roda bikinan Indocement, kini sudah menjadi milik Heidelberg, Jerman yang menguasai sekitar 61,70% saham. Atau mau pakai Semen Gresik, juga sudah milik Cemex, Meksiko. Begitupun Semen Cibinong setali tiga uang: 77,37 % sahamnya sudah dimiliki Holchim, Swiss. (Majalah Swa, Juli, 2006).


Kalau mau disebut satu per satu ketergantungan kita terhadap perusahaan asing tentunya bakal panjang daftarnya, dan memalukan. Karena akan semakin terlihat betapa sangat tergantungnya kita dengan perusahaan asing. Tapi memang begitulah realitanya, bahwa bangsa kita sebenarnya (kalau mau jujur) sudah dijajah bangsa asing. Kalau dulu sebatas Belanda dan Jepang, sekarang ini beragam bangsa asing mencengkeram negeri kita. Negeri yang jadi banca’an (rebutan) asing. Orang mungkin akan bilang, “Ah, sok nasionalis” ; ”kuno, kampungan!” atau alasan yang lebih kerennya lagi : “DI era globalisasi ekonomi seperti ini, di zaman modern seperti sekarang ini, tentunya kita tidak bisa menolak pengaruh dan terhindar dari perdagangan internasional. Bangsa Indonesia akan jauh tertinggal, bahkan kesulitan ekonomi, jika menolak masuknya investasi asing”. Begitulah ucapan yang kerap dilontarkan para pengamat, bahkan pejabat pemerintah Indonesia, yang intinya selalu membela bangsa asing. Padahal, dengan kondisi kita seperti sekarang ini, sekalipun sudah banyak perusahaan asing bercokol di Indonesia yang masuk menguasai berbagai bidang(sebagaimana disinggung di atas), toh Indonesia masih saja jauh tertinggal dari negara-negara tetangganya alias tetap saja miskin.


Ada pula yang berpendapat, investasi asing atau beralihnya kepemilikan perusahaan local menjadi milik asing itu tidak masalah. Toh mereka (Baca: perusahaan asing) membuka lapangan kerja, bayar pajak, menumbuhkan perekonomian nasional (?), dan segudang alasan hebat lainnya. Boleh jadi di satu sisi bisa dipahami alasan itu. Tapi persoalannya , apakah kita tidak mengelus dada melihat segala macam produk kebutuhan masyarakat itu telah dikuasai dan demi keuntungan asing? Sudahkah dihitung berapa repatriasi (pemulangan) keuntungan yang dibawa oleh perusahaan asing ke negerinya masing-masing? Pasti besar, dan trilyunan rupiah. Sebab, logikanya, perusahaan asing tentu tidak berinvestasi di Indonesia (dengan segala kemudahannya) jika tidak meraup untung gila-gilaan. Lalu dampaknya? Pada gilirannya, kita tidak akan kerepotan nantinya, lantaran begitu banyak dolar yang keluar dari sini akibat repatriasi ini.


Patut disadari, persoalan di sini bukan menolak perdagangan global, bukan menolak perusahaan asing berinvestasi di Indonesia. Melainkan, yang jadi persoalan adalah: bagaimana bisa perusahaan asing itu menguasai begitu dahsyat pasar di Indonesia sementara kita hanya menjadi penonton? Sekarang coba saja renungkan. Andai saja perusahaan-perusahaan asing itu memang sejak awal menanamkan modal lewat PMA (penanaman modal asing) dengan ketentuan pembatasan saham dan bidang-bidang mana saja yang boleh dan tidak boleh digarap, barangkali tidak begitu masalah. Tapi ini tidak demikian. Perusahaan asing itu justru telah membeli (saham mayoritas) perusahaan lokal (termasuk perusahaan plat merah yang di-privatisasi) yang sebetulnya sudah memiliki pasar dan menguntungkan. Jadi, sebetulnya perusahaan asing itu tinggal memetik hasil keuntungannya. Ibarat kata, perusahaan asing itu ditawari barang bagus, ya dibeli karena manjanjikan keuntungan yang berlipat-lipat.


Maka, menjadi pertanyaan kemudian: kita (negara ini) punya barang bagus, lho kok dijual ke asing? Coba siapa yang berani bilang bahwa rokok keluaran Sampoerna itu rugi? Tapi, toh saham Sampoerna dijual ke Marlboro. Atau siapa bilang Indosat, Telkomsel, Bank BCA, Semen Tiga Roda, itu perusahaan-perusahaan merugi sehingga harus dijual ke asing? Memang, secara hitung-hitungan ekonomis, bagi pengusaha swasta lokal dengan menjual sahamnya ke pihak asing akan mendapat fresh money yang besar. Seperti halnya pemilik pabrik rokok Sampoerna mendapat uang tunai sebesar Rp 18,58 trilyun dengan menjual 40% saham milik keluarga Sampoerna ke Philips Morris pemegang merk rokok Marlboro, asal Amerika Serikat. Bahkan selanjutnya Philip Morris pun terus memburu saham Sampoerna melalui penawaran tender, yang akhirnya menguasai 97% saham PT HM Sampoerna, dengan mengeluarkan dana Rp 45,066 trilyun. “Semua kami bayar dengan dana tunai”, ungkap Martin King, sesaat setelah dinobatkan menjadi Presdir HM Sampoerna yang baru (Kompas, 19 Mei 2005). Alhasil berpindah tanganlah perusahaan lokal kebanggaan Indonesia itu ke tangan perusahaan asal Amerika Serikat. Jadi pengusaha lokal membangun usaha, sudah maju, lalu saham dijual ke perusahaan asing, dan mereka dapat duit gede. Ibaratnya jual beli perusahaan. Tak peduli nasionalisme. Tak peduli perusahaan itu jatuh ke tangan asing. Begitulah cara berpikir pedagang (pengusaha): selalu cari untung.


Tapi celakanya, cara berpikir (baca: mental) pedagang itu juga diadopsi mentah-mentah oleh para birokrat, para pengelola negeri ini (baca: pejabat pemerintah dan legeslatif), terutama pemegang otoritas perusahaan-perusahaan negara atau lebih akrab disebut BUMN. Alasannya: privatisasi! Cara-cara pengusaha swasta lokal yang menjual perusahaannya ke tangan asing atau pelepasan saham pemerintah di BUMN itu ke pihak asing, sebetulnya bisa saja diproteksi. Caranya melalui produk hukum yang ketat dengan batas-batas kepemilikan saham perusahaan asing. Jadi, kalau sekarang ini perusahaan asing bisa merajalela menguasai lahan-lahan Indonesia, tentu saja hal ini besar kemungkinannya ada unsur kesengajaan dari pihak kita. Dan hal inilah yang patut dipertanyakan: kenapa bisa? Alasan klasiknya, lantaran ekonomi kita sedang krisis, pemerintah tidak punya duit, pemerintah perlu menutup lobang APBN, dan alasan segudang lainnya. Namun apakah pembuat kebijakan tidak memikirkan apa imbasnya, bagaimana untung ruginya untuk bangsa ini, berapa besar repatriasi (pemulangan) yang dibawa bangsa asing dari negeri ini, berapa banyak karyawan atau buruh yang menganggur? Bukankah dengan membiarkan semakin jauh hal ini akan mengakibatkan tingginya ketergantungan kita terhadap pihak asing? Dengan kata lain kita sudah menyerahkan diri di bawah cengkraman atau atau dijajah pihak asing dan kita sudah tidak mempunyai daya, harga diri, dan keberanian. Kita sudah dijajah tanpa senjata, tanpa harus berperang.


Akan tetapi alasan yang lebih mendekati benar adalah kondisi ini sengaja diciptakan oleh bangsa kita sendiri lantaran para pegelola negeri ini (termasuk wakil rakyat pembuat undang-undang) telah terjangkit mental korup, mental suap. Betapa tidak, kondisi ketidakmampuan terhadap pihak asing ini diakibatkan oleh lemahnya hukum (produk hukum). Karena melalui produk hukum inilah penguasaan ekonomi Indonesia bisa mulus dilakukan pihak asing. Nah, produk hukum berupa undang-undang atau perangkat peraturan lainnya itu nyatanya dapat dibuat sesuai pesanan pihak asing. Tentu saja yang menjadi agennya adalah para birokrat dan anggota legeslatif yang duduk menggodok undang-undang. Karena dari tangan-tangan mereka-lah undang-undang memperbolehkan kepemilikan asing itu diterbitkan.


Kurang yakin? Lihat saja kasus marak yang terjadi di pertengahan tahun 2008. Untuk membuat amandemen UU No 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia saja, pejabat Bank Indonesia harus menggelontorkan dana Rp 31,5 milyar untuk menyuap beberapa anggota DPR Komisi IX. Kasus ini terkuak setelah diadilinya anggota DPR Komisi IX Hamka Yandhu yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan diadili di pengadilan tipikor (Tindak Pidana Korupsi) (Koran Tempo, 7 Juli 2008). Nah, bukankah menjadi besar kemungkinannya pula untuk menggelontorkan undang-undang yang melindungi kepentingan asing, para pembuat UU juga mendapat kucuran uang alias disuap?


Maka patut menjadi perhatian pula jika kita melihat isi Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 1994 tentang kepemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penaman modal asing. Pada pasal 2 ayat 1 dinyatakan, intinya perusahaan asing atau badan hukum asing boleh memiliki seluruh modal (saham) perusahaan di Indonesia. Belum lagi jika kita buka UU Migas, UU bidang pertambangan (UU Minerba), UU penanaman modal asing, kontrak karya pertambangan, dan lain sebagainya, yang memperlihatkan dominasi dan keleluasaan pihak asing untuk menjarah lahan di Indonesia. 


Lantas menjadi pertanyaan kemudian, mengapa sampai keluar produk-produk hukum begitu? Apakah dalam membuat peraturan-peraturan seperti itu tidak ada desakan dari pihak asing? Apakah pihak asing tidak ikut cawe-cawe atau mempengaruhi di balik layar saat membahas keluarnya produk-produk hukum itu? Bukankah hal itu jelas-jelas menguntungkan pihak asing? Apakah mungkin pihak asing itu bisa cawe-cawe secara gratisan alias tidak pakai uang? Mungkin pengakuan John Penkins dalam bukunya Confenssions of Economic Hit Man akan semakin membuka mata kita sekaligus membuktikan bahwa pihak asing ternyata ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah kita. Perkins menjelaskan bagaimana keterlibatan asing yang terlalu jauh dalam perekonomian nasional. Bahkan dirinya berperan sebagai agen perusak ekonomi yang beroperasi di Indonesia untuk menjadikan ekonomi Indonesia tergantung dan dikuasai asing, dengan berkedok sebagai konsultan pemerintah. Bahkan, tulisnya lagi, ada konspirasi yang melibatkan lembaga-lembaga internasional yang selama ini kita percayai akan membantu kita keluar dari krisis ekonomi (John Perkins, Pengakuan Bandit Ekonomi, Ufuk Press, Agusutus, 2007). 


Walhasil kerusakan yang diarahkan oleh para agen perusak ekonomi itu sangat luar biasa; negara kita menjadi terlilit utang, rakyatnya miskin, ketergantungan impor, di bawah cengkeraman pihak (perusahaan asing), dan menjauhkan kita dari bangsa yang mandiri dan modern. Namun tragisnya, sekalipun ada pengakuan John Perkins itu, toh tetap saja pemerintah masih mengikuti kebijakan (dan jebakan) ekonomi yang disodorkan lembaga-lembaga internasional pemberi pinjaman, jadi kita ini seolah menggunakan kacamata kuda. Jadi bicara soal serbuan investasi asing ini tidak semata-mata karena hitung-hitungan ekonomis dan kebutuhan turut serta dalam tren pasar global demi meningkatkan perekonomian nasional, ataupun menutup lubang APBN. Melainkan ada udang di balik batu: pihak asing sangat ingin menguasai pasar dan mengeruk sumber ekonomi kita. Karena bagaimanapun, negeri dengan 220 juta penduduk beserta limpahan hasil buminya ini merupakan jarahan yang potensial dan menarik untuk dikuasai. Dan ironisnya, untuk mencapai maksud itu justru dibantu oleh para pengelola negeri ini.

Dikutip dari : "Di Bawah Cengkeraman Asing" oleh Wawan Tunggul Alam (halaman 11 sampai 26)

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More