Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Kamis, 29 Mei 2008

Kamu Laki-Laki atau Perempuan? Kok Sama?!


“Pa!….Papa!….Mama nggak kuat.”
“Ayo Ma!….Tahan!….Tahan!”
“Ayo Bu!..Tarik!..Buang!..Tarik!..Buang!”
“Yang kuat, Ma!….”
“Sedikit lagi, Bu….”.
Percakapan apa itu? Apakah Anda bingung? Atau malah sebenarnya Anda sudah tahu kegiatan apa yang sedang terjadi. Untuk meluruskannya, inilah kelanjutan ceritanya.
“Huu..huu..arrgh…”
“Iya….Akhirnya Bu, anak Ibu lahir.”
“Syukurlah, Ma!….Bayinya laki-laki atau perempuan, Dok?”
“Bayinya laki-laki…Wah, gantengnya!”
“Eyak..eyak..eyak….”.
Itulah pengalaman pribadi saat saya keluar dari perut ibu dan secara tak sengaja mendengar percakapan yang terjadi. Apakah Anda mempercayainya atau tidak?

Yang pasti, seperti itulah kira-kira peristiwa lahirnya makhluk dengan species Homo sapiens itu. Peristiwa yang membahagiakan bagi sebuah keluarga. Namun, cukup merepotkan bagi negara apabila dilihat secara makro, karena meningkatkan angka natalitas atau angka kelahiran. Dan apabila ditakdirkan sebagai orang Indonesia, pada saat ini bayi yang lahir telah terbebani utang yang katanya sekitar Rp10.000.000,- akibat besarnya beban utang negara kepada pihak luar negeri. Sungguh memperihatinkan.
Meskipun demikian, laki-laki yang satu ini -maksudnya penulis- merasa tak terbebani dengan kenyataan itu. Akan tetapi, keprihatinan tersebut dijadikan motivasi untuk menjadikan hidup ini lebih berguna bagi nusa dan bangsa, Indonesia Raya. Apakah perempuan juga berpikiran sama? Perempuan pun pastinya berpikiran serupa.
Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan itu sama. Keduanya memiliki perasaan dan pikiran. Dan untuk hal-hal tertentu pemikirannya pasti sama, misalnya untuk keperihatinan yang tadi disebutkan. Pemikiran sebagai manusia. Sehingga, manusia dapat diumpamakan seperti magnet. Diketahui bahwa magnet memiliki dua bagian tak terpisahkan yang memiliki kekhasan yang berbeda. Itulah kutub utara dan kutub selatan. Dan kutub-kutub pada manusia yaitu laki-laki dan perempuan, tak dapat dipisahkan sebagai suatu kesatuan manusia. Dengan segala perbedaannya.
Selain daripada itu, kedua kutub yang berbeda pada magnet akan selalu tarik menarik. Hal itu disebabkan adanya suatu gaya magnetik yang selalu memancar dari kutub utara ke kutub selatan. Dalam hal ini, manusia pun mengalami hal serupa. Yaitu, diantara insan manusia yang berlainan jenis akan ada suatu ketertarikan satu sama lain. Dengan karakteristiknya yang berlainan. Maka, jelaslah bahwa laki-laki dan perempuan tak dapat dipisahkan sebagai manusia, yang memiliki pikiran dan perasaan.
Di lain pihak, masih ada dalam ingatan cerita tentang bagaimana kondisi laki-laki dan perempuan pada masa lalu. Dapat juga diketahui dari sebuah lagu lawas dengan lirik “Wanita dijajah pria sejak dulu…. Dijadikan perhiasan sangkar madu….” dst. Katanya, pada saat itu perempuan hanya boleh diam di rumah. Mereka tidak boleh sekolah, pergaulan saja dibatasi, apalagi untuk berkarya. Tak aneh apabila wawasan mereka hanya sebatas sumur, dapur dan kasur. Sebelum akhirnya, muncul tokoh-tokoh perempuan yang mendobrak kebiasaan itu, seperti R.A.Kartini, Dewi Sartika, dan masih banyak lagi. Itulah sejarah ketika laki-laki dan perempuan dipisahkan dalam menjalani kehidupan sebagai manusia.
Walaupun begitu, laki-laki dan perempuan tetap tak dapat disamakan. Berdasarkan hakikat penciptaannya, perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Dan sebagaimana diketahui, tulang rusuk itu bengkok. Dengan begitu, apabila tulang rusuk yang bengkok itu diubah fungsinya, tentu saja tak akan dapat melindungi isi dada yang lemah. Dan apabila diluruskan maka akan patah. Sehingga, apabila sifat perasa, lemah lembut, dan penuh kasih sayang pada perempuan diubah, maka ia akan rusak.
Namun, pada masa sekarang ini banyak orang -khususnya perempuan- menuntut dan menyerukan emansipasi (persamaan) wanita yang dilatarbelakangi oleh gebrakan R.A.Kartini, Dewi Sartika, dan kawan-kawan. Akan tetapi, pada perkembangannya emansipasi wanita identik dengan keprofesian perempuan. Sehingga, tak ada pekerjaan laki-laki yang tak dikerjakan oleh perempuan. Tetapi perempuan pun tak boleh meninggalkan kewajibannya, seperti mengurus suami, hamil, mengurus anak, dan lain-lain. Dengan begitu, itu berarti meletakkan beban baru diatas pundak perempuan. Maka, tak heran banyak perempuan saat ini ingin dimengerti. Karena tentu saja sifat khusus pada perempuan tak akan pernah lepas dari dirinya.
Lalu, bagaimana misalnya bila para laki-laki menuntut emansipasi pria? Karena, bila ada emansipasi wanita bukankah seharusnya ada emansipasi pria? Para laki-laki tersebut menuntut pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan. Bukankah itu suatu ketimpangan, ketidakadilan, dan bahkan kedholiman? Perempuan menjadi laki-laki dan laki-laki menjadi perempuan. Sebagai salah satu indikasinya, banyak ahli memasak dan ahli kecantikan berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan, polisi lalu lintas yang terasa lebih berwibawa itu polisi yang berjenis kelamin perempuan. Walaupun hal itu bukan masalah. Atau mungkin sebenarnya belum menjadi masalah. Dengan demikian, emansipasi dengan makna yang seperti sekarang, tak pantas diserukan oleh orang-orang karena laki-laki dan perempuan tak dapat disamakan.
Akan tetapi, hal tersebut tidak berarti bahwa perempuan kembali ke masa “wanita dijajah pria”. Sebagai manusia, laki-laki dan perempuan harus beriringan dalam menjalani kehidupan. Keduanya harus cerdas, rajin, inovatif, dan bila merasa sebagai orang Indonesia, keduanya memiliki kewajiban untuk mengubah mental bangsa. Di luar hal itu, karena kodratnya, perempuan memiliki “kewajiban lebih”, seperti hamil, mendidik anak, dan mengurus keluarga. Oleh karena itu, perempuan sudah seharusnya diberi dispensasi khusus. Namun, tak berarti seorang perempuan dengan alasan emansipasi, meninggalkan salah satu dari kewajibannya itu. Dan seorang laki-laki pun tak dapat mengalihkan kewajibannya dengan alasan emansipasi.
Lagipula, persamaan yang selama ini dielu-elukan itu, sedikit banyak memicu masalah. Tergambarkan oleh cerita sebuah keluarga berikut ini.
Pada suatu hari, ada sebuah keluarga yang telah berpergian, baru tiba di rumahnya.
“Duh, Ma!….Papa capek banget” (langsung meninggalkan anak istri di mobil)
“Barang-barangnya gimana, Pa?”
“Mama aja yang bawa! Tadi kan Papa dah nyetir….Katanya emansipasi!”
“Gimana sih Papa ini?! Mama kan ngegendong Haikal.” (nama samaran, masih bayi) Dan beberapa waktu kemudian, setelah di dalam rumah.
“Pa…. Mama pergi dulu ya!”
“Kemana, Ma?”
“Mama baru inget ada janji ketemu klien.”
“Mama dah nyiapin makanan belum? Terus Haikal gimana?”
“Papa kan bisa nyiapin sendiri, klo Haikal susuin aja! (maksudnya mungkin memberi susu dengan botol)…. Emansipasi dong, Pa!”.
Contoh keluarga kacau. Meskipun unsur dalam cerita tersebut adalah fiktif belaka, namun apabila ada kesamaan, itu merupakan suatu kesengajaan.
Maka, dengan tak adanya persamaan, tak ada pula derajat. Seperti yang selama ini dikhawatirkan orang. Hal itu disebabkan pola pikir yang masih beranggapan bahwa bila tak disamakan antara laki-laki dan perempuan, salah satu diantaranya berderajat lebih rendah. Misalnya, aturan sebuah perusahaan yang melarang karyawatinya untuk lembur. Dan oleh karyawatinya dianggap sebagai suatu perendahan derajatnya. Padahal, kata derajat dalam ilmu sains dikenal sebagai besaran sudut dan penunjuk temperatur (Meskipun itu tak ada hubungannya). Dan dalam ilmu sosial, penggunaan kata derajat penggunaannya semakin di-minimize. Mungkin kata derajat masih relevan dalam keagamaan. Contohnya, “Manusia itu derajatnya sama di mata Tuhan”. Oleh karena itu, sangat aneh bila pada masa kini masih ada orang yang mempermasalahkan derajat, apalagi dalam urusan gender manusia.
Di samping itu, apabila ada perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan, dapat dibayangkan bagaimana reaksi seorang ayah ketika mengetahui jenis kelamin anaknya. Mungkin kisah saya akan berubah, saat ayah saya bertanya, ”Bayinya laki-laki atau perempuan, Dok?”
“Bayinya laki-laki…. “, jawab dokter
“Apa?? Laki-laki?!…. Ku tak sudi…. Derajatnya rendah…. Masukkan lagi dia ke perut ibunya!”
“Tidaaaak!”, teriak sang Mama.
Hal tersebut tak akan pernah terjadi. Tetapi yang terjadi adalah rasa bahagia yang luar biasa. Baik anaknya laki-laki maupun perempuan. Walaupun mungkin tak sesuai dengan harapan semula. Selain itu, utang yang “dikenai” pada setiap bayi yang lahir, itu sama besarnya, tak melihat laki-laki atau perempuan. Tak pernah disebutkan bahwa derajat laki-laki lebih tinggi daripada perempuan atau sebaliknya, sehingga beban utangnya lebih sedikit.
Kalau derajat tak pernah ada, yang mungkin menjadi pembedanya adalah peran. Jadi, dengan sikap sensitifnya, memungkinkan perempuan untuk mengurus dan mendidik bayinya hingga berkembang menjadi seorang anak. Ditambahkan pula, Tuhan telah berkehendak, rahim ada dalam perut perempuan dan dilengkapi dengan kelenjar susu yang bertujuan untuk mendekatkan hubungan antara perempuan dan anaknya. Sedangkan, laki-laki dengan kejantanannya, punya peranan untuk memimpin, melindungi dan menafkahi. Dan sekali lagi ditegaskan bahwa peranan itu tidak menunjukkan tingkat derajat satu diantara yang lainnya. Sudah seharusnya, keduanya saling melengkapi sebagai suatu pasangan, pasangan manusia. Seperti perumpamaan yang disebutkan diawal, magnet dengan kutub utara dan kutub selatannya.
Sehingga dapat disimpulkan, manusia itu terdiri dari laki-laki dan perempuan. Keduanya tak dapat dipisahkan dalam menjalani kehidupan. Meskipun demikian, keduanya tak dapat disamakan karena tidak sama dalam karakteristik dan peran. Dan sudah semestinya, perbedaan tersebut membuat keduanya saling melengkapi. Sama sekali tidak menunjukkan tingkat derajat salah satu diantara keduanya. Karena hanya Tuhan yang berhak menentukan derajat manusia secara utuh –laki-laki dan perempuan- berdasarkan keimanan dan pengetahuannya.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More