Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Jumat, 03 April 2009

Industri Media itu (Harus) Beda


Kenapa media dikaitkan dengan industri? Apakah ini sebuah pertanyaan konyol atau sebuah pertanyaan yang keluar dari orang lugu, entahlah. Atau mungkin juga ini adalah pertanyaan bijak yang mencoba menggali pola tingkah media. Dikutip dari Antara online, Ketua Umum PWI Jatim H Dhimam Abror mengatakan bahwa media massa sudah menjadi industri akibat masuknya modal atau kapital dalam industri media massa sejak era 1980-an. Tak dapat dipungkiri bahwa media “hidup” dengan sokongan “darah” dari modal. Selain itu, media telah menjadi salah satu bentuk investasi yang menguntungkan bagi pemodal.
           Media punya “jati diri” atau fungsi sejak kelahirannya. Ketakanlah itu idealisme. Sokongan modal yang menjadikan media menjadi erat kaitannya dengan industri telah mampu mengubah media itu sendiri lebih condong kepada komersialisme. Contoh kasus untuk hal ini yaitu kasus Ponari.
Saat media massa baik televisi, surat kabar, atau media internet memblow-up hebatnya khasiat pengobatan Ponari membuat banyak orang langsung percaya dan penasaran untuk mencobanya. Bahkan tak tanggung-tanggung, orang yang meminta kesembuhan melalui media batu ajaib Ponari mencapai ribuan orang dalam satu hari dan rela menginap beberapa hari untuk sekedar mengantri. Pencari kesembuhan yang datang pada Ponari bukan hanya wilayah Jawa Timur saja, bahkan ada yang berasal dari luar Jawa Timur, dari mana mereka bisa tahu? Media massa jawabannya.
Mengapa masyarakat begitu percaya dan langsung tersugesti pada pengobatan Ponari? Karena sejak awal semua media massa gencar memberitakan bagaimana seorang yang lumpuh langsung sembuh, seorang yang sakit keras langsung bisa sehat, dan berbagai keajaiban lain. Itulah kehebatan media massa, saat media massa mengatakan “A”, masyarakat juga akan ikut mengatakan “A”. Sampai-sampai logika dikesampingkan masyarakat, kalau memang batu Ponari bisa menyembuhkan banyak orang mengapa saat dirinya sakit tidak bisa disembuhkan? Mengapa saat dirinya sendiri sakit dia malah dibawa ke dokter?
Terlepas dari benar atau tidak khasiat yang digembar-gemborkan media massa terhadap pengobatan Ponari, lewat artikel ini saya hanya ingin membuka mata kita semua. Inilah kekuatan media. Untuk meraih kesuksesan dalam bisnis, media massa mempunyai kekuatan yang sangat dahsyat. Bahkan terkadang bisa menggiring masyarakat mempercayai hal yang tidak mungkin sekalipun.
Dalam dunia bisnis, telah banyak tokoh sukses yang berhasil memanfaatkan media massa untuk kepentingan pemasaran. Tung Desem dengan aksi menyebar uang di udara telah membuat media massa memblow-up aksi dia dan akhirnya dia memperoleh keuntungan ganda pada peluncuran bukunya. Selain itu jika anda jeli, biasanya saat akan ada peluncuran film baru atau album baru, pasti akan beredar isu panas yang mengundang perhatian masyarakat di beberapa media berkaitan dengan artis yang terlibat dalam film atau album yang akan keluar. Gunanya apa? Agar media massa gencar memberitakan artis tersebut dan akhirnya promosi film atau album pada masyarakat luas bisa sukses.
Kita dapat memandang dari kasus-kasus di atas bahwa media seperti bocah “tolol” yang dipermainkan oleh pihak-pihak yang mencari keutungan dari keberadaannya. Apakah media sebegitu “lugunya” dipermainkan? Sebenarnya media dapat menentukan perilakunya sendiri, sebagaimana kita mengenalnya dengan istilah teori agenda setting.
Teori Agenda setting menekankan bahwa Media akan dengan mudah member perhatian yang lebih kepada sebuah topik daripada topik lain yang terabaikan. Orang-orang akan cenderung lebih mengetahui isu apa yang diangkat oleh media dan merangkai isu apa yang penting dan tidak penting.
Ide dasar pendekatan Agenda Setting seperti yang sering dikemukakan Bernard Cohen (1963) adalah bahwa “pers lebih daripada sekadar pemberi informasi dan opini. Pers mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi pers sangat berhasil mendorong pembacanya untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan”. Orang-orang mempelajari isi dari sebuah topik dan bagaimana mereka mengurutkan dari mulai yang terpenting sampai ke tidak penting.
Menurut Mc.Combs dan Shaw (1976), Audiens tidak hanya belajar soal isu publik saja melalui media, akan tetapi mereka juga jadi tahu pentingnya sebuah topik dari penekanan media massa menempatkannya. Contohnya pada saat kampanye politik, biasanya hal ini dianggap penting oleh media. Hal ini secara tidak sadar akan mempengaruhi kognitif pemirsa sebagai aspek yang paling penting. Hal ini berbahaya dan bisa disalahgunakan karena jika para pemilih bisa diyakinkan bahwa sebuah isu dalam kampanye itu penting, maka pemilih bukan tidak mungkin akan mempergunakan hak pilih untuk memilih kandidat yang menurut media paling kompeten.
Ada sebuah analisis riset yang mengatakan bahwa isu yang paling mendapat perhatian adalah karena pemirsa merasa familiar dan merasa topik itu penting dalam satu periode waktu, sedangkan topik yang kurang mendapat perhatian dengan sendirinya akan dilupakan. Untuk mengilustrasikannya, contohnya pada kasus korupsi. Tidak ada yang baru dengan kasus korupsi politik, tetapi karena mendapat sorotan yang luar biasa dari pers, maka topik itu menjadi topik utama
Ada beberapa ketidak pastian mengenai hipotesis Agenda setting, Pertama ketidak jelasan mengenai dampak. Apakah kita harus menganalisa efek media pada individu atau kepada hubungan interpersonalnya. Yang kedua adalah dengan berbagai macam agenda yang tersembunyi, apakah kita berbicara tentang agenda individu dan kelompok atau agenda institusi, parpol dan pemerintah. Ada perbedaan antara agenda setting individu dengan berkomunikasi langsung kepada publik atau agenda setting institusi dengan mempengaruhi politisi dan para pembuat kebijakan. Oleh karena itu media memiliki peran ganda yaitu mempengaruhi opini publik maupun mempengaruhi elit politik. Sedangkan yang ketiga bahwa seharusnya agenda setting yang dibuat oleh media dilakukan secara tidak sadar dan perhatian yang diarahkan secara langsung oleh media akan tetapi di sisi lain diasosiasikan dengan pendekatan fungsional.
Tentu dengan latar belakang dan tujuan tertentu, agenda setting ini dapat menjadi “tongkat sulap” media itu sendiri bila ingin meraup keuntungan. Bila tak ada pembeda yang jelas dengan kata “industri” yang biasa “nyantol” di bidang lain, tak berlebihan media disebut sebagai usaha yang sangat menguntungkan secara finansial.
Perbedaan yang disebut oleh Philip M. Napoli dalam buku Media Management and Economic hanya akan menguatkan pemaparan di atas. Tertulis bahwa media memprosuksi konten kepada khalayak dan khalayak didistribusikan kepada pengiklan (Napoli, 2003a). Media lebih dari sekedar pemasukan ekonomi. Media juga memiliki kemampuan untuk memengaruhi politik, budaya, opini, pembawaan yang mengonsumsi produk media tersebut. Media harus memikirkan pengaruh dari keputusannya atas budaya dan politik konsumennya.
Secara materi, dengan melihat perbedaan yang ada di industri media seperti itu, industri media akan sangat jauh berbeda dengan industri lainnya. Namun, bila tak ada “identitas asli” dari media tersebut sebagai jati dirinya, industri media akan sama saja. Sama-sama cari untung.
Sebuah spirit-lah yang menjadi hal yang paling fundamenatal untuk membedakan industri media dengan industri lain. Seorang pahlawan sejati (bukan manusia biasa) akan lebih manusiawi dari manusia lainnya yang normal bila menyadari kekuatannya, dan memanfaatkan kekuatannya tersebut untuk kepentingan orang lain bukan kepentingannya sendiri. Media itulah pahlawannya. Dan ia harus beda.
Referensi
Media Management and Economic
Ardianto, Elvinaro. 2007. Komunikasi Massa. Bandung: Simbiosa

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More