Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Jumat, 12 Desember 2008

Demokrasi Ideal itu Sebagian dari Islam?

Demokrasi. Satu kata berjuta makna dan berjuta orang pula yang mengidamkannya. Terutama dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sudah banyak yang mengakui bahwa kita takkan mendapatkan pemahaman yang mendalam bila ditanya soal makna demokrasi. Karena, demokrasi tak hanya satu kata bersifat kognitif (hanya pengetahuan), tapi merupakan suatu afektif (sikap) dan psikomotor (tindakan) yang sudah semestinya berlaku.
Beberapa tokoh besar pernah mencoba untuk memahami makna demokrasi walaupun hanya terbatas secara filosofis. Seperti, Abraham Lincoln dengan memaknainya : dari, oleh, dan untuk rakyat. Atupun Joseph A. Schumpeter dengan mengartikan demokrasi itu berasal dari rakyat (will of the people), untuk mencapai kebaikan bersama (common goods). Dan mungkin masih banyak lagi tokoh yang memaknai demokrasi. Namun, kita tak butuh hanya sekedar makna. Atas dasar itulah Schumpeter “kembali” memaknai demokrasi walaupun kini tak secara filosofis, tetapi lebih sebagai prosedur. Ada juga Jurgen Hubermas, dengan demokrasi deliberatif-nya, atau Giddens dengan demokrasi dialogis. “Tak mau ketinggalan” S.P. Huntington dengan mengusung makna demokrasi sebagai suatu proses. Sekali lagi, pendalaman demokrasi belum menemukan perwujudannya secara benar dan jelas. Tak salah bila “adu gagasan” tadi yang dijadikan acuan, demokrasi ideal atau demokrasi yang benar seakan semakin utopis.

Dalam tatanan ritualisasi agama masyarakat juga mengenal demokrasi, seperti ritualisasi yang dilakukan oleh salah satu agama besar di dunia yakni Islam. Dalam proses ritualisasinya agama ini memberikan/membudayakan nilai-nilai demokrasi yang lebih dari sekedar makna. Bentuk demokrasi tersebut ada dalam pelaksanaan shalat berjamaah.
Ada beberapa fakta dalam shalat berjamaah yang ada kaitannya dengan nilai-nilai demokrasi. Pertama, imam yang dipilih dalam shalat berjamaah harus diketahui memiliki kompetensi oleh para makmum yang memilihnya. Kedua, para makmum harus/wajib mengikuti gerakan imamnya tanpa mendahului. Ketiga, bila imam salah atau lupa dalam gerakannya, para makmum wajib mengingatkan dengan baik tanpa merusak pelaksanaan shalat. Yaitu dengan mengucapkan “subhanallah”. Keempat, bila imam tak mampu lagi meneruskan shalatnya, misalnya karena kentut yang sudah diketahui bahwa hal itu dapat membatalkan shalat, imam harus merelakan posisinya tanpa harus merusak pelaksanaan shalat secara keseluruhan. Walaupun kentutnya itu tidak diketahui para makmum, dia harus sadar diri, apalagi bila diketahui para makmumnya. Kelima, hal yang terpenting dari empat poin sebelumnya adalah semua elemen dalam shalat berjamaah itu memiliki tujuan yang sama dan diwujudkan dengan hadapan muka yang sama ke arah kiblat.
Selanjutnya, imam dapat diibaratkan pemimpin atau wakil dari makmum dan makmum sebagai mayoritas yang tetap berpartisipasi aktif dan memberikan kontrol terhadap imamnya. Serta dalam redaksional perintah shalat tersebut bukan laksanakanlah melainkan dirikanlah. Artinya, shalat tidak sekedar ritualitas lima menit dalam lima waktu tetapi juga harus diaplikasikan dalam kehidupan. Termasuk nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam shalat berjamaah tersebut.
Dalam contoh tersebut di atas kita dapat melihat bahwa dalam tatanan kehidupan beragama pun kita telah menerapkan demokrasi. Walaupun contoh tersebut masih parsial, harus diingat bahwa dalam menuju pencapaian yang besar, kita perlu melihat pentingnya hal kecil. Dengan melakukan hal kecil tersebut, timbullah relasi antara demokrasi yang satu dengan lainnya demi mewujudkan demokrasi bersama dalam satu impian.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More