Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
[Adz-Dzaariyat (51) ayat: 56]
Mulailah dengan kesadaran bahwa kehadiran Anda di kehidupan ini PASTI untuk sesuatu yang penting.
[Mario Teguh]

Minggu, 07 Desember 2008

Kolonialisme Tiada Matinya: Sebuah Analisis Film "The New Rulers of The World "


Pendahuluan
Sejak kita mengenal sejarah, penindasan berupa penjajahan itu sudah biasa kita kenal. Dulu, penjajahan itu terjadi antarbangsa atau antarkerajaan. Suatu bangsa atau kerajaan melakukan ekspansi ke berbagai belahan dunia untuk membentuk suatu kekuatan. Dengan kekuatan itu, bangsa atau kerajaan ingin mendominasi dan mengendalikan dunia. Tak dapat disangkal, keinginan seperti itu tentu saja tidak hanya berasal dari satu bangsa atau kerajaan. Mereka bersaing hingga berperang untuk mewujudkan visi masing-masing bangsa atau kerajaan. Manusia tentu akan melakukan segala cara untuk mempertahankan dirinya, bila berkaiatan dengan suatu bangsa maka yang dipertahankan adalah eksistensi bangsanya.

Dengan adanya persaingan tersebut, bangsa atau kerajaan yang tidak ikut dalam persaingan tersebut menjadi bagian sumber dari kekuatan bangsa yang berekspansi. Bangsa yang tidak “main dalam permainan” tersebut hanya sebatas menjadi tempat eksploitasi. Ada sebuah kecenderungan, bangsa yang sebenarnya memiliki potensi alam yang luar biasa itu tidak ada keinginan untuk ikut bersaing. Mereka pada akhirnya menjadi boneka bangsa yang memiliki cita-cita besar menguasai dunia.

Tipu muslihat adalah salah satu cara yang efektif untuk menguasai bangsa yang lain, selain dengan cara berperang. Para bangsa pengekspansi tersebut, dapat kita selidiki, ternyata memiliki cara yang halus untuk menaklukkan bangsa lain. Mereka tidak serta merta mengekspansi dengan cara berperang. Mereka akan menghabiskan banyak modal bila jalan yang ditempuh selalu dengan peperangan. Peperangan yang terjadi itu melibatkan antarbangsa yang bersaing.

 Bangsa yang telah terkuasai akan menjadi tambahan “power supply” bagi bangsa penjajah. Sumber daya alam dari bangsa tersebut akan dikuras dan sumber daya manusianya akan diperas. Iming-iming kemajuan yang dijanjikan dulu itu hanya bualan. Mana ada bangsa yang menjajah peduli terhadap kemajuan bangsa yang dijajahnya.

Hal-hal disebutkan di atas memang mengacu pada kolonialisme bangsa barat pada masa lalu. Kita mengenal konsep 3G dalam semangat imperialisme mereka. 3G yang dimaksud yaitu: Gold, Glory and God. Dalam imperialisme dan kolonialismenya, mereka mencari kekayaan, meraka mengincar kejayaan atau kekuasaan, dan mereka meraih tugas suci untuk menyebarkan agama.

Penjajahan pun berakhir dengan adanya nasionalisasi bangsa-bangsa. Bermunculan bangsa-bangsa yang mendeklarasikan diri menjadi sebuah negara. Atas dasar prikemanusian dan prikeadilan, penjajahan di atas dunia dihapuskan. Namun, hal itu tak berarti kolonialisme telah “dikebumikan”. Kolonialisme hanya berubah bentuk dan mengalami penyesuaian. Tak aneh karena persaingan untuk meraih dominasi di atas muka bumi masih tetap hidup. Nampaknya muka bumi ini tak akan pernah sepi dari persaingan tersebut selama masih ada kehidupan.

Persaingan tersebut sanggup menghabisi jutaan umat manusia. Perang dunia yang berlangsung tak hanya sekali itu menjadi salah satu indikatornya. Terjadi pengkutuban di dunia ini oleh negara-negara tertentu. Hingga akhirnya salah satu negara adidaya di dunia ini yaitu Uni Soviet runtuh, polemik persaingan dunia mulai meredup.

Seiring perjalanan waktu, dunia mulai genjatan senjata. Penjajahan atau penindasan terhadap suatu negara tidak terjadi secara mengglobal, meskipun di beberapa penjuru belahan bumi, hal itu masih terjadi. Apakah itu tandanya kolonialisme telah berakhir? Apakah saat ini kita terbebas dari penjajahan, penindasan dan pemerasan? Kembali, kolonialisme hanya berubah bentuk dan mengalami penyesuaian.

 

Kolonialisme Baru

Saat ini, pergolakan tidak terjadi sebatas dalam tataran bangsa atau negara. Para pemainnya telah beralih kepada korporat atau perusahaan. Korporasilah yang menjadi penjajah baru di muka bumi ini. Dengan kekuatan modalnya, suatu perusahaan dapat menembus batas-batas territorial suatu negara.
Para korporasi yang menamai dirinya perusahaan multinasional ini mendapat legitimasi dari aturan global yang secara tersirat mendukung penjajahan gaya baru ini. Aturan “main” itu dinamakan globalisasi. Kata ini menjadi tipu muslihat baru dalam melancarkan penjajahannya.

Ditunjang kapital yang besar dan keteguhan memegang prinsip ekonomi (dengan pengeluaran sedikit-sedikitnya, peroleh keuntungan sebesar-besarnya) yang tinggi, korporasi dapat menindas dan mengerdilkan bangsa yang “dihinggapinya”. Seperti fakta yang diungkapkan pada film ini, bagaimana buruh diperlakukan tidak manusiawi dalam hal jam kerja dan upah. Keserakahan manusia itu yang menjadi biang keladinya.

Parahnya, cara baru dalam menjajah ini telah berevolusi dengan signifikan sehingga negara yang terjajah tersebut mengalami ketergantungan dan tidak dapat lepas dari pengaruhnya. Sudah terlalu banyak produk yang rutin dikonsumsi dan/atau sudah tak terhitung berapa jumlah orang yang dipekerjakan di dalam perusahaan multinasional, sehingga bila ekspansi asing itu dihentikan, tak terbayang negera tersebut akan sepert apa.

Theotonio Dos Santos mendefinisikan ketergantungan ini yaitu keadaan di mana kehidupan ekonomi negara-negara tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan ekonomi negara-negara lain, di mana negara-negara tertentu ini hanya berperan sebagai penerima akibat saja.

Seperti yang dikutip dari buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga disebutkan bahwa gejala ketergantungan dianalisis dengan pendekatan keseluruhnya yang memberi tekanan pada system dunia. Ketergantungan adalah akibat proses kapitalisme global, di mana negara-negara pinggiran kebagian peran sebagai “pelengkap penyerta” saja. Keseluruhan dinamika dan mekanisme kapitalisme dunialah yang menjadi perhatian pendekatan ini. Kasus negara-negara yang ada hanya merupakan bagian dari keseluruhan dinamika ini, yang tidak banyak menentukan.

Masih dari sumber yang sama, Andre Gunder Frank melihat hubungan antara negara pinggiran dan negara pusat sebagai hubungan yang selalu merugikan negara yang pertama. Masih ada yang berpikir bahwa dinamika system dunia, yakni kapitalisme global, selalu memberikan peluang bagi negara-negara yang ada untuk naik atau turun kelas. Orang itu adalah Wallerstein.

Namun, nampaknya yang terjadi di Indonesia saat ini tidak seperti yang dipikirkan Wallerstein. Teori Sistem Dunia yang ia kemukakan tidak atau belum terjadi di Indonesia. Peluang untuk maju itu ada tetapi hanya untuk orang terbatas. Ujung-ujungnya, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

Dunia, khususnya Indonesia memang memerlukan model yang baru dalam membangun suatu negara dan menamatkan riwayat kolonialisme dalam berbagai bentuk.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More